MEMPERTANYAKAN
KEMBALI JATI DIRI BANGSA
Pada dekade dasawarsa silam, Indonesia
lebih dikenal sebagai bangsa yang luhur. Keluhuran bangsa Indonesia tampak dari
kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya. Keluhuran peradaban bangsa ini lebih
nampak jelas dari keramahan perilaku hidup masyarakat Indonesia yang senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan
aktivitas keseharian, gotong-royong, saling tolong-menolong, dan tepo seliro
adalah karakter bangsa Indonesia. Luhurnya peradaban bangsa Indonesia yang membanggakan
ini sempat memikat mata dunia Internasional datang ke Indonesia untuk sekedar melihat
dan belajar sekaligus merasakan lebih dekat kehidupan sosial bangsa ini dengan
harapan suatu ketika nanti dapat diterapkan pada negaranya.
Apresiasi
dunia Internasional terhadap Indonesia tidaklah berlebihan mengingat Indonesia
dengan ratusan juta penduduk serta terkelompok dalam berbagai suku bangsa, adat
istiadat, ras dan agama serta tersebar dalam banyak wilayah kepulauan namun
stabilitas politik, pertahanan dan keamanan masih tetap terjaga dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga Indonesia pernah menjadi salah
satu barometer bagi negara-negara berkembang dalam menjaga kerukunan umat
beragama. Namun demikian sekarang ini karena desakan arus globalisasi dan neo
liberalisme yang dibarengi pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
beberapa kalangan mengkawatirkan sekaligus mempertanyakan eksistensi bangsa
Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki kepribadian luhur. Seperti,
Soemarno Soemarsono yang melihat kondisi bangsa ini ibarat “gunung es”
kelihatan gagah perkasa, tapi jiwa atau fondasinya rapuh.
Kegelisahan tersebut sangatlah beralasan
mengingat Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang sangat arif
bijaksana, ramah dan berbudi pekerti luhur kini telah berubah menjadi bangsa
yang tidak beradab, beringas dan asusila. Bagaimana tidak, konflik antar kelompok
telah menghiasi kehidupan keseharian bangsa ini, kekejaman dan kekerasan bahkan
pembunuhan dan pemerkosaan telah secara terang-terangan dilakukan dengan
sengaja di muka umum tanpa perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga kepribadian
bangsa dengan peradabannya semakin dipertanyakan eksistensinya. Korupsi, kolusi
dan nepotisme telah menjadi hiasan berita keseharian bangsa ini membudaya dalam
berbagai sisi sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Negara gagal adalah predikat yang tepat
bagi bangsa Indonesia saat ini. Terlepas dari pengaruh budaya asing dengan berbagai
tawarannya, bangsa Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang beradab,
bermoral, dan berkedaulatan, serta bangsa yang senantiasa mendasarkan tingkah
lakunya pada nilai-nilai luhur budaya dan agama. Indonesia telah gagal
membangun dan mempertahankan peradaban agungnya. Kegagalan bangsa Indonesia ini
sekaligus membenarkan apa yang telah diprediksi Francis Fukuyama sebelumnya,
sebagaimana dikutip St. Sularto, disebabkan karena permasalahan kemiskinan,
pengangguran, konflik antar kelompok, serta merebaknya aksi teror. Prediksi Fukuyama terhadap Indonesia
ini sangat tepat. Kesenjangan sosial bangsa Indonesia yang terjadi sejak zaman
orde baru sampai zaman reformasi telah diprediksi oleh Fukuyama bahwa Indonesia
nantinya akan menjadi negara gagal dalam meningkatkan taraf hidup, pendidikan
dan kesehatan warga negaranya, walaupun sebenarnya Indonesia sendiri memiliki
potensi kekayaan alam yang melimpah namun karena tidak adanya pemerataan yang
berkeadilan menyebabkan Indonesia nantinya akan menjadi negara dengan jumlah
penduduk terbesar sekaligus tertinggi tingkat kemiskinannya di kawasan Asia
Tenggara.
Begitu juga, rendahnya rasio
perbandingan penyediaan lapangan kerja dalam negeri dengan ledakan tenaga kerja
produktif telah berdampak pada pengiriman tenaga-tenaga kerja kurang
profesional ke luar negeri, akibatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri seringkali
mendapat perlakuan kasar, pelecehan seksual, dan penistaan hak-hak azasi
kemanusiaanya.
Bahkan kalau mau melihat lebih jauh dari
itu, kegagalan bangsa Indonesia lebih disebabkan karena kebobrokan moral para
penguasa lembaga tinggi dan tertinggi bangsa ini. Lembaga eksekutif yang
seharusnya melaksanakan amanat undang-undang demi menjaga kedaulatan,
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa namun telah lalai menjalankan tugas dan
kewenangannya sebagai abdi rakyat yang senantiasa mengayomi dan melindungi kedaulatan
rakyat dari segala ancaman ekspansi bangsa lain. Begitu juga dengan lembaga
legislatif yang seharusnya berposisi sebagai wakil rakyat dalam memproduksi
undang-undang juga telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penjaga
azas-azas demokrasi. Demikian juga dengan apa yang telah ditampilkan oleh
personal yudikatif sebagai pihak yang seharusnya menjaga supremasi hukum namun
telah menelanjangi kedaulatan hukum dengan senantiasa memperdagangkan ayat
undang-undang demi kekayaan pribadi dan kepentingan segelintir orang. Inilah
gambaran bangsa Indonesia saat sekarang ini, Indonesia telah kehilangan
jatidirinya sebagai bangsa dan negara yang beradab dan berkedaulatan.
Kehilangan jatidiri adalah suatu hal
yang sangat memalukan bagi bangsa Indonesia, mengapa tidak, karena dengan
kehilangan jatidiri sejatinya bangsa Indonesia kehilangan peradabannya yang
telah lama diwariskan oleh pendiri bangsa (fouding father) sejak zaman
dahulu sampai negara ini diakui kedaulatanya. Apalagi yang ingin dibanggakan
bagi Indonesia jika telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat dan
berdaulat. Tidak ada lagi yang dapat dibanggakan, mengingat dari sendi-sendi
kehidupan yang lain, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta pangan
Indonesia masih sangat bergantung pada belas kasihan negara-negara lain. Oleh
karena itu pada masa rezim orde baru, Soeharto, sangat represif terhadap
upaya-upaya yang ingin mengganggu dan merusak stabilitas negara persatuan dan
kesatuan. Bukan bermaksud ingin membenarkan tindakan-tindakan represif rezim
orde baru dengan segala kebijakan politik strategisnya, namun jika untuk
kebaikan menjaga martabat bangsa mengapa tidak. Luwih Enak Jamanku To itulah
sindirian yang sangat menyakitkan bagi penggagas orde reformasi.
Kebijakan politik strategis, sebagaimana
yang telah diterapkan pada rezim orde baru dinilai sangat ampuh bagi sebagian
kalangan dalam menjaga keutuhan bangsa, mengingat dengan kebijakan ini
benih-benih konflik kebangsaan yang akan terjadi dapat diredam sedemikian rupa sehingga
tidak mengancam dan membahayakan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa.
Namun oleh sebagian kalangan yang lain kebijakan politik strategis rezim orde
baru ini dinilai sebagai bentuk tindakan melanggar HAM karena telah menebarkan
rasa takut dan kegelisahan yang sangat bagi penegak faham demokrasi
berkebangsaan. Ketakutan ini mendasar, mengingat karena selama rezim orde baru
pendekatan yang digunakan dalam menopang kebijakan politik strategis adalah militerisasi,
sehingga kesan yang muncul dari kebijakan ini adalah tindakan kekerasan.
Terlepas dari intrik-intrik politik yang
digunakan oleh rezim orde baru dalam melanggengkan status quo-nya,
Soeharto telah berhasil membuat bangsa Indonesia disegani di mata dunia sebagai
bangsa yang besar, berdaulat dan bermartabat, serta sejajar dengan
bangsa-bangsa lain sehingga patut diperhitungkan dalam percaturan politik
internasional. Sekarang yang perlu direnungkan adalah bagaimana menerapkan
kebijakan politik strategis yang pernah teruji keberhasilannya pada masa orde
baru dalam mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia di mata dunia, namun sekali
lagi, tidak melanggar HAM?.