Minggu, 11 Januari 2015

UAS MP Kuantitatif II



UJIAN AKHIR SEMESTER


Semester/SKS   : V/2 (Dua)                                           Mata Kuliah      : MP Kuantitatif II        
Hari/Tanggal    : Minggu/ Januari 2015                          Pengampu         : Aris Bimono, M.Pd.I

 
Soal...!
1.      Pilihlah skripsi pada FAI UNWAHAS Semarang Progdi PAI yang memiliki jenis penelitian KUANTITATIF; (disarankan yang lulus pada 2010 ke atas)
2.      Buatlah sinopsis terhadap skripsi yang telah anda peroleh;
3.      Ketentuan penulisan sinopsis adalah sebagai berikut;
Judul Skripsi (Cover)
A.       Latar Belakang Masalah (max. 2 hlm.)
1.      Identifikasi Masalah (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
2.      Rumusan Masalah (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
B.        Pembahasan
1.      Landasan Teori (max. 4 hlm.)
a.       Pembahasan variabel x
b.      Pembahasan variabel y
c.       Pertemuan variabel x dan y
2.      Hipotesis Penelitian (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
3.      Metode Penelitian
a.       Jenis Penelitian
b.      Teknik Pengumpulan Data
c.       Teknik Analisis Data
4.      Analisis Data Variabel x
5.      Analisis Data Variabel y
6.      Uji Hipotesis
C.        Penutup
1.      Kesimpulan
2.      Saran
D.       Daftar Pustaka
E.       Biodata Penulis Skripsi

4.      Aturan penulisan sinopsis adalah sebagai berikut;
A.       Sinopsis ditulis dengan menggunakan format
1.      Time New Roman
2.      Font 12
3.      Ukuran kertas A4 dengan margin atas dan kiri 4 cm, bawah dan kanan 3 cm
B.        Untuk mempermudah koreksi agar sinopsis yang telah anda selesaikan, softcopy harus dikirim kembali lewat E-mail: arisbimono23@yahoo.com Batas akhir pengiriman adalah 1 Februari 2015. Tidak menerima pengiriman berupa hardcopy.
C.        Jika ada kesamaan judul dan penulis skripsi antara 2 atau lebih mahasiswa kesemuannya akan dikembalikan via e-mail, dan diberi waktu 3 hari untuk memperbaiki.

Minggu, 04 Januari 2015

MEMPERTANYAKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA



MEMPERTANYAKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA


Pada dekade dasawarsa silam, Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang luhur. Keluhuran bangsa Indonesia tampak dari kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya. Keluhuran peradaban bangsa ini lebih nampak jelas dari keramahan perilaku hidup masyarakat Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan aktivitas keseharian, gotong-royong, saling tolong-menolong, dan tepo seliro adalah karakter bangsa Indonesia. Luhurnya peradaban bangsa Indonesia yang membanggakan ini sempat memikat mata dunia Internasional datang ke Indonesia untuk sekedar melihat dan belajar sekaligus merasakan lebih dekat kehidupan sosial bangsa ini dengan harapan suatu ketika nanti dapat diterapkan pada negaranya.
 Apresiasi dunia Internasional terhadap Indonesia tidaklah berlebihan mengingat Indonesia dengan ratusan juta penduduk serta terkelompok dalam berbagai suku bangsa, adat istiadat, ras dan agama serta tersebar dalam banyak wilayah kepulauan namun stabilitas politik, pertahanan dan keamanan masih tetap terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga Indonesia pernah menjadi salah satu barometer bagi negara-negara berkembang dalam menjaga kerukunan umat beragama. Namun demikian sekarang ini karena desakan arus globalisasi dan neo liberalisme yang dibarengi pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa kalangan mengkawatirkan sekaligus mempertanyakan eksistensi bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki kepribadian luhur. Seperti, Soemarno Soemarsono yang melihat kondisi bangsa ini ibarat “gunung es” kelihatan gagah perkasa, tapi jiwa atau fondasinya rapuh.
Kegelisahan tersebut sangatlah beralasan mengingat Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang sangat arif bijaksana, ramah dan berbudi pekerti luhur kini telah berubah menjadi bangsa yang tidak beradab, beringas dan asusila. Bagaimana tidak, konflik antar kelompok telah menghiasi kehidupan keseharian bangsa ini, kekejaman dan kekerasan bahkan pembunuhan dan pemerkosaan telah secara terang-terangan dilakukan dengan sengaja di muka umum tanpa perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga kepribadian bangsa dengan peradabannya semakin dipertanyakan eksistensinya. Korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi hiasan berita keseharian bangsa ini membudaya dalam berbagai sisi sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Negara gagal adalah predikat yang tepat bagi bangsa Indonesia saat ini. Terlepas dari pengaruh budaya asing dengan berbagai tawarannya, bangsa Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang beradab, bermoral, dan berkedaulatan, serta bangsa yang senantiasa mendasarkan tingkah lakunya pada nilai-nilai luhur budaya dan agama. Indonesia telah gagal membangun dan mempertahankan peradaban agungnya. Kegagalan bangsa Indonesia ini sekaligus membenarkan apa yang telah diprediksi Francis Fukuyama sebelumnya, sebagaimana dikutip St. Sularto, disebabkan karena permasalahan kemiskinan, pengangguran, konflik antar kelompok, serta merebaknya aksi teror. Prediksi Fukuyama terhadap Indonesia ini sangat tepat. Kesenjangan sosial bangsa Indonesia yang terjadi sejak zaman orde baru sampai zaman reformasi telah diprediksi oleh Fukuyama bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara gagal dalam meningkatkan taraf hidup, pendidikan dan kesehatan warga negaranya, walaupun sebenarnya Indonesia sendiri memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah namun karena tidak adanya pemerataan yang berkeadilan menyebabkan Indonesia nantinya akan menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar sekaligus tertinggi tingkat kemiskinannya di kawasan Asia Tenggara.
Begitu juga, rendahnya rasio perbandingan penyediaan lapangan kerja dalam negeri dengan ledakan tenaga kerja produktif telah berdampak pada pengiriman tenaga-tenaga kerja kurang profesional ke luar negeri, akibatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri seringkali mendapat perlakuan kasar, pelecehan seksual, dan penistaan hak-hak azasi kemanusiaanya.
Bahkan kalau mau melihat lebih jauh dari itu, kegagalan bangsa Indonesia lebih disebabkan karena kebobrokan moral para penguasa lembaga tinggi dan tertinggi bangsa ini. Lembaga eksekutif yang seharusnya melaksanakan amanat undang-undang demi menjaga kedaulatan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa namun telah lalai menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai abdi rakyat yang senantiasa mengayomi dan melindungi kedaulatan rakyat dari segala ancaman ekspansi bangsa lain. Begitu juga dengan lembaga legislatif yang seharusnya berposisi sebagai wakil rakyat dalam memproduksi undang-undang juga telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penjaga azas-azas demokrasi. Demikian juga dengan apa yang telah ditampilkan oleh personal yudikatif sebagai pihak yang seharusnya menjaga supremasi hukum namun telah menelanjangi kedaulatan hukum dengan senantiasa memperdagangkan ayat undang-undang demi kekayaan pribadi dan kepentingan segelintir orang. Inilah gambaran bangsa Indonesia saat sekarang ini, Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa dan negara yang beradab dan berkedaulatan.
Kehilangan jatidiri adalah suatu hal yang sangat memalukan bagi bangsa Indonesia, mengapa tidak, karena dengan kehilangan jatidiri sejatinya bangsa Indonesia kehilangan peradabannya yang telah lama diwariskan oleh pendiri bangsa (fouding father) sejak zaman dahulu sampai negara ini diakui kedaulatanya. Apalagi yang ingin dibanggakan bagi Indonesia jika telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Tidak ada lagi yang dapat dibanggakan, mengingat dari sendi-sendi kehidupan yang lain, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta pangan Indonesia masih sangat bergantung pada belas kasihan negara-negara lain. Oleh karena itu pada masa rezim orde baru, Soeharto, sangat represif terhadap upaya-upaya yang ingin mengganggu dan merusak stabilitas negara persatuan dan kesatuan. Bukan bermaksud ingin membenarkan tindakan-tindakan represif rezim orde baru dengan segala kebijakan politik strategisnya, namun jika untuk kebaikan menjaga martabat bangsa mengapa tidak. Luwih Enak Jamanku To itulah sindirian yang sangat menyakitkan bagi penggagas orde reformasi.
Kebijakan politik strategis, sebagaimana yang telah diterapkan pada rezim orde baru dinilai sangat ampuh bagi sebagian kalangan dalam menjaga keutuhan bangsa, mengingat dengan kebijakan ini benih-benih konflik kebangsaan yang akan terjadi dapat diredam sedemikian rupa sehingga tidak mengancam dan membahayakan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Namun oleh sebagian kalangan yang lain kebijakan politik strategis rezim orde baru ini dinilai sebagai bentuk tindakan melanggar HAM karena telah menebarkan rasa takut dan kegelisahan yang sangat bagi penegak faham demokrasi berkebangsaan. Ketakutan ini mendasar, mengingat karena selama rezim orde baru pendekatan yang digunakan dalam menopang kebijakan politik strategis adalah militerisasi, sehingga kesan yang muncul dari kebijakan ini adalah tindakan kekerasan.
Terlepas dari intrik-intrik politik yang digunakan oleh rezim orde baru dalam melanggengkan status quo-nya, Soeharto telah berhasil membuat bangsa Indonesia disegani di mata dunia sebagai bangsa yang besar, berdaulat dan bermartabat, serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain sehingga patut diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Sekarang yang perlu direnungkan adalah bagaimana menerapkan kebijakan politik strategis yang pernah teruji keberhasilannya pada masa orde baru dalam mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia di mata dunia, namun sekali lagi, tidak melanggar HAM?.