Jumat, 25 Juli 2014
Selasa, 22 Juli 2014
MUHIBAH YANG TERLUPAKAN
Peristiwa
pendaratan Laksamana Cheng Ho dalam beberapa kali lawatannya ke beberapa wilayah
Nusantara sangat dimungkinkan menjadi benih bagi pendirian Kesultanan Islam
pertama di pulau Jawa, yaitu: Kesultanan Demak Bintara. Meskipun dalam catatan
sejarah tidak ada yang secara pasti mengkaitkannya, namun jika ditarik benang
merah antara lawatan Cheng Ho ke beberapa wilayah Nusantara, khususnya pulau
Jawa, dengan pendirian Kesultanan Demak sangat jelas sekali keduanya memiliki keterkaitan
erat, yaitu antara misi yang dibawa Cheng Ho dengan perkembangan Islam di tanah
Jawa. Oleh karena itu, jejak-jejak lawatan muhibah Dinasti Ming keliling dunia yang
dipimpin Laksamana Besar Cheng Ho layak untuk dikaji terlebih dahulu dalam
menelusuri jejak-jejak keberadaan dan kejayaan Kesultanan Demak Bintara.
Pelayaran
kelililing dunia yang dilakukan Laksamana Cheng Ho sejak tahun 1405-1433 hampir
saja menjadi sebuah misteri bahkan sempat terlupakan dalam catatan sejarah
kemaritiman dunia. Kehebatan Cheng Ho memimpin armada besar laut yang dimiliki
Kaisar Cheng Zhu (1403-1424) dari Dinasti Ming hampir saja terkubur kisahnya
oleh keberhasilan ekspedisi yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Eropa. Meskipun kehebatan
orang-orang Eropa dalam mengarungi samudra kegelapan belumlah seberapa jika dibandingkan
dengan keberhasilan Cheng Ho dalam ekspedisinya mengelilingi dunia. Tulisan ini
bukan bermaksud ingin membesar-besarkan nama Cheng Ho dalam mengemban misinya karena
masih memiliki pertalian darah dengan kebanyakan keturunan orang-orang
Indonesia atau bukan pula memuliakan namanya karena kebetulan sekeyakinan
denganya, tapi memang kehebatan nama Cheng Ho layak untuk diapresiasikan
keberhasilannya dibidang kemaritiman sebagai pelaut tangguh yang pernah ada.
Tercatat
dalam sejarah kemaritiman dunia, pelayaran Cheng Ho merupakan ekspedisi
terhebat yang pernah ada dalam catatan sejarah umat manusia. Mengalahkan
kehebatan pelayaran yang dilakukan Christopher Columbus yang diutus Ratu
Isabella dari Spanyol pada tahun 1492, maupun kehebatan Vasco da Gama pelaut
tangguh berkebangsaan Portugis yang berhasil membuka jalur perdagangan baru
dari Eropa menuju Malabar (India) melalui Tanjung Harapan pada tahun 1497-1499.
Namun demikian kehebatan nama Cheng Ho dalam menahkodai armada besar laut
Dinasti Ming tidak banyak yang mengetahuinya, bahkan mungkin bisa tamat
riwayatnya jikalau para sejarahwan muslim tidak menaruh perhatian besar untuk menghidupkannya
lagi dalam berbagai seminar dan kajian ilmiah.
Berita
tentang kehebatan armada laut Dinasti Ming pada awal abad ke-15 yang dinahkodai
seorang mantan kepala kasim intern bernama asli Ma Ho, dapat dijumpai
dalam tulisan Sterling Seagrave. Sterling Seagrave dalam bukunya menceritakan bahwa
telah tersiar kabar berita pada Juli 1405, sebuah armada besar telah bersiap
melakukan pelayaran. Kebanyakan merupakan kapal dagang bersenjata yang dipaksa
ikut oleh komando istana. Terkecil adalah kapal-kapal bertiang tunggal dengan
panjang sekitar 20 meter berperan sebagai taksi air. Kapal-kapal perangnya,
yang mampu melaju cepat dan lincah, berukuran sedang, kira-kira sepanjang 60
meter dan lebar 22 meter. Sedangkan yang besar dalam armada Cheng Ho adalah
kapal-kapal perbekalan sepanjang 100 meter dan lebar 50 meter, dan yang paling
besar, disebut jung, bisa mencapai 140 meter dan lebarnya 60 meter. Awak yang
menumpang dalam armada Cheng Ho sebanyak 27.870 orang, berada di atas 317 kapal
yang setiap lambungnya dilapisi campuran kapur dan minyak beracun berasal dari
biji sryandra cordifolia yang berguna untuk melindungi kayunya dari serangan
rayap, kapal-kapal tersebut berlayar berbarengan. Kapal-kapal yang ikut dalam
pelayaran Cheng Ho semuanya diberi nama, agar mudah untuk membedakan antara kapal
satu dengan yang lainnya, ada kapal yang diberi nama: Harmoni Murni, Tenang
Indah, Tenteram Abadi, Silang Damai, dan Tahan Murni, sementara kapal yang
ditumpangi Cheng Ho sendiri diberi nama Rakit Kejora.
Rute
pelayarannya diawali dari Teluk Naga, berangkat pada musim semi, berlayar jauh menyusuri
wilayah Yangtze dekat daerah yang kini bernama Shanghai Cina, perlu waktu
delapan hari untuk sampai di pelabuhan Taiping, yaitu: salah satu pelabuhan
kapal dagang terbesar di Negara Cina. Di Taiping armada Cheng Ho menunggu sampai
datangnya angin musim mulai, yaitu: di bulan Desember, ketika angin musim mulai
armada kemudian bergerak melanjutkan perjalanannya menuju selatan ke Qui Nhon
di Champa, menerobos daerah Vietnam seterunya, lalu singgah ke Jawa dan tinggal
selama empat bulan lamanya sambil menunggu datangnya angin timur. Demikian
catatan Sterling Seagrave dalam menggambarkan kehebatan pelayaran Cheng Ho
mengarungi samudra.
Kabar
yang disampaikan Sterling Seagrave sebagaimana catatan di atas, setidaknya dapat
memberitakan kehebatan armada Cheng Ho dalam mengarungi samudra, jauh di atas
keperkasaan Columbus yang hanya membawa tiga kapal dalam menemukan daratan
Amerika. Bahkan melewati ketangguhan Vasco da Gama yang diutus Raja Manuel I
dari Portugal dalam mencari jalur baru pelayaran ke Malabar (India) yang hanya
membawa 170 kelasi dan empat kapal.
Namun
demikian catatan Sterling Seagrave sedikit terdapat perbedaan dengan apa yang
disampaikan Ma Huan, yaitu: tentang rute persinggahan pertama pelayaran Cheng
Ho ke wilayah-wilayah Nusantara. Ma Huan memberitakan bahwa muhibah Cheng Ho ke
wilayah Nusantara kali pertama dilakukannya pada tahun 1405-1407. Pada
lawatanya ini, tepatnya pada 11 Juli 1405, Cheng Ho berangkat dari Nanking
ditemani oleh seorang teman setianya bernama Ching Huang, dan wilayah yang
pertama kali dikunjunginya adalah San-Fo-Tsi (Sriwijaya/Palembang). Tujuan
utama pelayaran Cheng Ho adalah menumpas perampok Tiongkok Hokkian pimpinan
Chen Tsu I yang sangat meresahkan dikalangan pedagang Palembang. Demikian
berita yang disampaikan Ma Huan, yang ikut serta sebanyak tiga kali dalam tujuh
kali pelayaran Cheng Ho ke wilayah-wilayah Nusantara, dalam tulisannya: “Ying-yai
Sheng-Lan: The Overall Survey of the Ocean’s Shores 1433. Meskipun berita
yang disampaikan Ma Huan sendiri juga masih diperdebatkan kebenarannya oleh
para sejarahwan. Perdebatan kebenaran catatan Ma Huan mengenai persinggahan
pertama pelayaran Cheng Ho ke wilayah Nusantara, karena Ma Huan sendiri baru
mengikuti pelayaran Cheng Ho mengelilingi dunia yang keempat. Sebagaimana yang
ditulis Tan Ta Sen, Ma Huan baru mengikuti pelayaran yang keempat Cheng Ho ke
Malaka pada tahun 1413 dan bertugas sebagai penterjemah. Begitu juga dalam
catatan Victor Purcell, Cheng Ho baru membawa seorang Cina Muslim bernama Ma
Huan dalam pelayarannya sebagai seorang penterjemah pada tahun 1413, yaitu:
pada pelayaran keempat Cheng Ho. Sehingga dapat dimungkinkan berita yang disampaikan
Ma Huan mengenai wilayah Nusantara yang pertama kali disinggahi Cheng Ho keliru,
bukannya Palembang melainkan Jawa. Namun juga tidak tertutup kemungkinan apa
yang ditulis Ma Huan memang benar demikian adanya.
Perbedaan
catatan Sterling Seagrave dengan Ma Huan dalam memberitakan wilayah Nusantara
yang pertama kali di singgahi Cheng Ho tidaklah begitu menarik untuk dibahas
lebih lanjut, yang jelas jejak-jejak Cheng Ho baik pada pelayaran pertama sampai
ketujuh yang hampir dilakukan selama 28 tahun (1405-1407, 1407-1409, 1409-1411,
1413-1415, 1417-1419, 1421-1422, 1431-1433), telah sampai dan singgah ke
beberapa wilayah Nusantara, seperti: Jawa, Palembang, Pasai (Aceh), Lamuri
(Lambri), Nakur (Batak), Lide, Aru, Tamiang, Pulau Bias, Pulau Lingga,
Kalimantan Pulau Gelam, Pulau Karimata, Pulau Balitan, dan pulau-pulau lain di
Indonesia. Lebih rincinya mengenai wilayah-wilayah yang disinggahi Cheng Ho
dapat ditemukan dalam catatan Kong Yuanzhi berikut: Pertama (1405-1407),
Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, Lambri (Banda Aceh), dan Palembang; Kedua
(1407-1409), Champa, Melaka, Siam, Kalimantan, Jawa, dan Lambri; Ketiga
(1409-1411), Champa, Melaka, Jawa, Samudra Pasai, dan Lambri; Keempat (1413-1415)
Champa, Melaka, Pahang, Kelantan, Jawa, Palembang, Nakur, Lambri, dan Aru; Kelima
(1417-1419), Champa, Melaka, Sulu, Pahang, Jawa, Palembang, Samudra Pasai, dan
Lambri; Keenam (1421-1422), Champa, Siam, Melaka, Samudra Pasai, Lambri,
dan Aru; dan Ketujuh (1431-1433) Champa, Melaka, Siam, Jawa, Palembang,
Samudra Pasai, Lide, Nakur, Aru, dan Lambri.
Jika
dilihat dari daerah yang banyak disinggahi pelayaran Cheng Ho, sebagaimana
keterangan Kong Yuanzhi di atas selalu meninggalkan jejak historis yang sangat
mengagumkan dan bernilai eksotis yang tinggi, dan yang lebih unik lagi, seperti
yang terdapat di pulau Jawa. Pulau Jawa adalah wilayah yang paling sering disinggahi
pelayaran Cheng Ho, enam dari tujuh kali pelayarannya Cheng Ho selalu singgah
di wilayah ini, sehingga tidak mustahil jika di pulau Jawa banyak ditemukan prasasti-prasasti
bersejarah peninggalan Cheng Ho yang sampai sekarang masih terawat dengan baik,
seperti klenteng Sam Po Kong yang dapat ditemukan di daerah Semarang, Surabaya,
Cirebon dan Ancol. Kebanyakan dari prasasti-prasasti peninggalan Cheng Ho
tersebut merupakan tempat-tempat ibadah.
Banyaknya
prasasti peninggalan Cheng Ho di wilayah Nusantara yang berupa tempat ibadah
menunjukan bahwa misi pelayarannya tidak sekedar bermuatan politik dan ekonomi
belaka, tetapi menyimpan agenda tersebunyi berupa Islamisasi wilayah Nusantara.
Hal ini juga dibuktikan dengan penempatan para konsul dan duta keliling Muslim Tiongkok
di setiap daerah yang dikunjunginya. Kemungkinan besar sebagian Tiongkok Islam
yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini kemudian enggan pulang kembali ke
negerinya, menetap dan berbaur dengan pendudukan pribumi. Baik karena alasan
pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau faktor
kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syi’ar
Islam dengan jalan dakwah.
Demak, 25 Ramandhan 2014
Langganan:
Postingan (Atom)