STUDI PERKEMBANGAN HERMENEUTIKA
DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat
Nabi Muhammad SAW., telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang
luar biasa, bukan hanya pada sisi eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan
tergoyahkan, tetapi juga pada sisi ajaran-ajarannya yang telah terbukti mampu
mengikuti perkembangan zaman, sehingga ia (al-Qur’an) mampu menjadi referensi
bagi umat manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia menuju kehidupan
hakiki di akhirat sejak awal diturunkannya hingga sekarang ini. Al-Qur’an tidak
hanya berbicara tentang moralitas dan spiritualitas, tetapi juga berbicara
tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia,
dengan perkataan lain sempurnalah isi al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk
hidup umat manusia.
Sebagai
petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh umat
manusia yang beriman kepada isi yang terkandung di dalamnya. Namun dalam
kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan
sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu,
mengetahui konteksnya, serta memahami alamiah struktur bahasa dan makna kosa
katanya. Tidak jarang, mereka sering kali berbeda
pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar
atau yang mereka baca itu.[1]
Pada zaman Rasul masih hidup, umat Islam tidak
banyak rnenemukan kesulitan dalam memahami petunjuk al-Qur’an, sebab jika
mereka menemukan berbagai kesulitan, mereka dapat bertanya langsung kepada
Rasul. Akan tetapi, sepeninggal Rasul, umat Islam banyak menuia kesulitan,
meskipun mereka sangat mengerti dan memahami bahasa Arab. Kesulitan ini menurut Ahmad Nurcholis, lebih disebabkan
karena teks-teks al-Qur’an itu sendiri banyak mengandung makna-makna literal
dan simbolis sehingga satu kosa kata bahasa Arab dapat memiliki sejumlah makna,
tergantung konteksnya.[2]
Konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab, kemudian
membawa pada pemikiran bahwa teks-teks al-Qur’an selalu terbuka (untuk
ditafsirkan) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interprestasi tunggal.[3]
Seiring dengan itu, kemudian munculah
berbagai macam corak dan pendekatan penafsiran teks-teks al-Qur’an yang coba diterapkan oleh para
mufassir. Sebagaimana perkembangannya, corak dan pendekatan penafsiran
al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu: Pertama, tafsir al-Qur'an dengan metode penafsiran klasik, dan Kedua,
tafsir al-Qur'an dengan metode penafsiran modern. Tafsir
al-Qur’an dengan metode penafsiran klasik terbentuk dengan metode bi
al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyaroh. Sedangkan
penafsiran modern lebih menggunakan metode penafsiran tahlili, ijmali,
muqaran dan maudhu’i. Adapun corak yang mendominasinya, pada
tafsir klasik ada yang bercorak salafi, i’tizali, sunni, siyasi,
falsafi, shufi, maupun fiqhi, dan pada corak tafsir modern
antara lain: ilmi, adabi ijtima’i, bayani, dan ilhadi.[4]
Dan, ada juga tafsir al-Qur’an yang
berorientasi pada teks-teksnya al-Qur’an saja yang kemudian disebut dengan
pendekatan tafsir tekstual, maupun yang berorientasi pada konteks pembaca
(penafsir) yang kemudian disebut dengan pendekatan tafsir kontekstual.[5]
Meskipun
telah banyak corak dan pendekatan penafsiran al-Qur’an yang coba ditawarkan
oleh para mufassir, namun akhir-akhir ini ada kecenderungan di kalangan kaum
muslimin, seperti: Fazlur Rahman, Mohammed Talbi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan juga
Sahiron Syamsudin sangat antusias
memanfaatkan pendekatan disiplin ilmu lain, yaitu penafsiran
teks yang berkembang di negara-negara Barat (non-Muslim), seperti ilmu
hermeneutika untuk menggali dan membongkar isi kandungan al-Qur’an. Penggunaan
ilmu tersebut dalam penafsiran al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai
komplemen namun ada pula
yang menempatkannya sebagai suplemen.
Meskipun,
penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al-Qur’an adalah merupakan hal
baru dan belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu (klasik) namun
dalam perkembangannya ilmu ini telah mampu menampakan sisi kemapanannya,
sehingga ilmu ini mampu menyihir sebagian mufassir modern untuk menggunakan
hermeneutika dalam memahami teks-teks al-Qur’an.
Pada
awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dalam
tafsirnya al-Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an, walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan
penggunaan hermeneutika dalam penafsirannya. Penggunaan ilmu hermeneutika
secara terang-terangan baru dilakukan pada akhir abad keduapuluhan oleh para
cendekiawan Islam kontemporer, dan hasilnya ternyata telah mampu memberikan
kontribusi yang signifikan dalam membuka wacana baru pembacaan teks-teks suci
al-Qur’an.
Perkembangan
yang menggembirakan inilah kemudian membawa penggunaan konsep hermeneutika
dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an mendapat tanggapan serius dan beragam dari
para ulama yang antusias dengan ilmu ini, umumnya adalah konsep hermeneutika
karya Hans Georg Gadamer, ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya.
Pro dan kontra inilah pada akhirnya yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih
serius dalam tulisan makalah ini tentang Studi Perkembangan Hermeneutika dalam
Tafsir al-Qur’an.
B.
Pembahasan
1.
Konsep
dan Perkembangan Hermeneutika
Asal
mula kata hermeneutika adalah dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata hermeneuin
yang berarti menafsirkan. Kemudian, kata hermeneutika diartikan
sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas,
khususnya teks suci.[6]
Hermeneutika sebagai sebuah seni menafsirkan mengharuskan adanya tiga komponen
yang mengharuskan mengikutinya, yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada
pendengar.[7]
Dalam ilmu tafsir hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang
diinginkan oleh si pembuat teks tersebut.
Menurut
Komaruddin Hidayat, kata hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama seorang
dewa Yunani Kuno, Hermes yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa
yang dialamatkan kepada manusia. Husein Nashr berpendapat bahwa Hermes tak lain
adalah Nabi Idris As. Yang disebutkan dalam al-Qur’an.[8]
Dalam legenda yang beredar di kalangan pesantren pekerjaan Nabi Idris As.
adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos
Yunani tentang peran Dewa Hermes, ternyata ada korelasi positif. Kata kerja memintal
padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya
disebut textus atau text yang merupakan isu sentral dalam
hermeneutika.
Dalam
definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah
atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks
keagamaan.[9]
Dengan demikian pengertian hermeneutika hampir sama dengan ilmu tafsir, karena
definisi tafsir sendiri menurut Dzahabi, adalah seni atau ilmu untuk menangkap
dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan, dalam al-Qur’an, sesuai dengan tingkat
kemampuan manusia (bi qadr al-thâqah al-basyariyah).[10]
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan
untuk memahami teks suci melainkan telah meluas untuk memahami semua bentuk
teks, baik sastra, karya seni, maupun tradisi masyarakat.
Istilah
hermeneutika untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Aristoteles, yang termuat
dalam sebuah buku karyanya berjudul Peri Hermeneias, yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Interpretatione, dan
juga dalam bahasa Inggris dengan judul On the Interpretation. Sebelum
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, salah seorang filusuf Islam al
Faraby (w.339/950) juga telah menterjemahkan dan memberi komentar karya
Aristoteles tersebut ke dalam bahasa Arab dengan judul fil ‘Ibarah.
Konsep
hermeneutika yang digunakan Aristoteles memang masih sangat sederhana sekali,
tidak sama dengan konsep yang digunakan sekarang ini. Hermenias yang dia
kemukakan sekedar hanya membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran dan
membahas tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (isim), kata
kerja (fi’il), kalimat (jumlah), ungkapan (preposition)
dan lain-lain yang terkait dengan bahasa. Ketika Aristoteles membicarakan
hermenias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks,
melainkan Aristoteles hanya membahas mengenai bidang interpretasi itu sendiri,
tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu.
Dalam
perkembangan berikutnya pengertian hermeneutika beralih dari makna leksikal
kepada makna istilah. Perkembangan ke arah ini dimulai oleh para teolog Yahudi
dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci
mereka (Bible). Mereka menggunakan hermeneutika bertujuan untuk mencari
kebenaran dari kitab suci mereka yang sangat beragam. Mereka mempertanyakan
apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap kalam Tuhan. Kitab Bible
yang ada pada mereka sangat beragam antara karya yang satu dengan lainnya.
Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan
sebagai kalam Tuhan. Oleh karena itu para teolog Kristen memerlukan
hermeneutika. Ketika perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat masih pada
tahap ini maka ia diposisikan sebagai bagian dari ilmu filologi. Oleh karenanya
historiografi merupakan klien hermeneutika yang paling setia.
Memasuki
akhir abad ke-18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman sekaligus
tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika
mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya.
Ketika era metafisika mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli
ilmu pengetahuan mulai berkurang, maka mulailah dikembangkan universalitas yang
murni dan didapatkan di hermeneutika. Schleiermacher misalnya, menggunakan
hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari sebuah teks, bahkan lebih
dari itu, arti hermeneutika baginya adalah untuk memahami sebuah wacana (discource)
dengan baik kalau perlu lebih baik dari pembuatnya (to understand the
discourse just well as well as and even better than its creator).[11]
Paling
tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama,
hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick
Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti
(1890-1968).[12]
Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang
dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher,
adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum
Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas
kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.[13]
Guna
mencapai tingkat seperti itu, Schleiermacher menggunakan dua cara yang
ditempuh, lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru dan lewat
karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan
atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua
sisi: 1) sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses
memahami menjadi mungkin, dan 2) sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran
si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan.
Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian
mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya.[14]
Menurut Abu Zaid, diantara dua sisi ini, Schleiermacher lebih mendahulukan sisi
linguistik dibanding analisa psikologisnya, meski dalam tulisannya sering
dinyatakan bahwa penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang
satu memberi pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.[15]
Selanjutnya,
untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam
tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka
tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri
untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup,
atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian,
sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya
yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif
sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.[16]
Dalam
aplikasinya pada teks keagamaan, penafsiran atas teks-teks al-Qur’an, misalnya:
1) kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatikal bahasa Arab (nahw-sharaf)
yang memadai, dan 2) memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa
turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa
yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus
teks-teks sekunder keagamaan, seperti karya-karya al-Syafi’i (767-820 M).
Selain memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita
juga harus paham tempat dan tradisi dimana karya-karya tersebut ditulis. Qaul
al-Qadim dan Qaul al-Jadid disampaikan di tempat dan tradisi yang
berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis Syafi’i sendiri,
apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang
netral. Kemudian, karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda
ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi hakim) dan saat
menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, pemahaman yang salah,
menurut Schleiermacher, tidak mungkin terelakkan.
2.
Hermeneutik
Hans-Georg Gadamer
Gadamer dengan nama
lengkapnya Hans Georg Gadamer adalah seorang filsuf Jerman yang sangat dekat
dengan generasi pertama hermeneutika kontemporer, yaitu Heidegger. Secara
historis dan beberapa literatur yang dapat dipercaya, Gadamer dalah tokoh
filsuf Jerman yang tidak memiliki kepentingan kekuasaan kepada Negara maupun
pemerintahan, dan bahkan dia tidak pernah bersentuhan dengan partai politik
apapun. Ini sedikit alasan yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih tentang
teori hermeneutika Gadamer.
Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di
Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota
kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan
dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya
sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami
disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu
orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie
und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen
Plato und Aristiteles, dan lain-lain.
Dalam pandangan hermeneutika Gadamer, teks
bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah
teks dipublikasikan dan dilepas, teks menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi
berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami
berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam
teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah mati dalam pandangan kelompok ini.
Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan
dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang
tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam
tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu
yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan
pikiran dan kreativitas. Sebaliknya, justru seseorang harus menafsirkan teks
berdasarkan apa yang dimilikinya saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht)
dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).[17]
Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan
tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si
pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang
wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru
demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
Meski
demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap
salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam
hermeneutika objektif Schleiermacher, meski ia menganggap sebagai negatif atau
rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang
menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung,
misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai
sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya
sebuah kesinambungan.[18]
Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh
jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi
dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan
dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas
historis.[19]
Hermeneutika
Gadamer berakar kuat dalam konsepnya tentang sejarah. Menurut Gadamer, manusia
tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah. Manusia memilik sejarah, bukan
sebaliknya. Eksistensi manusia (dasein) selalu menemukan dirinya telah
terkait dengan yang lain. Kita menemukan wujud diri kita telah berada dalam
dunia (In-der-Welt-Sein/wujud di dalam dunia) yang tidak kita ciptakan,
dan inilah dunia kita. Akal juga mensejarah. Akal tidak dapat membebaskan
dirinya dari prapenilaian dan tradisi. Kondisi-kondisi kongkrit ada ketika akal
bekerja karena akal tidak bisa lepas dari sejarahnya. Sebelum pengalaman
individu, sejarah telah terlebih dahulu wujud sekaligus terlebih dahulu
memiliki pengaruh, yang menentukan pengalaman tersebut. Oleh sebab itu, Gadamer
menegaskan bukan penilaian-penilaian yang sebenarnya membentuk realitas sejarah
dari wujud individu, tetapi justru prapenilaian-prapenilaian (vorurteil).[20]
Dalam
pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang (ia mengistilahkannya
sebagai situasi hermeneutis/hermeneutical situation) merupakan sebuah
prapenilaian yang tidak bisa dihilangkan karena situasi tersebut adalah given.
Bagi Gadamer, prapenilaian tidak pernah dapat dipisahkan dari hakikat wujud
manusia.
Oleh
sebab itu, kondisi penafsir sekarang, bukanlah halangan yang merintangi dalam
penafsiran, namun justru merupakan landasan produktif dari semua pemahaman.
Dalam pandangan Gadamer, teori penafsiran Schleiermacher akan menjadikan
situasional penafsir (orang yang mengetahui) sebagai sebuah persoalan, dan
bahkan penafsir akan menafikan situasinya sendiri. Ini sebuah kekeliruan. Bagi
Gadamer, situasi sekarang yang merupakan sebuah prapenilaian kita tidaklah
memotong dari masa lalu, namun merupakan permulaan yang membuka wawasan kita.
Prapenilaian-prapenilaian tersebut adalah kondisi positif yang memungkinkan
pemahaman positif.[21]
Gadamer
menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh
sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (effective-historical
consciousness/ efek-kesadaran
sejarah). Jadi, Gadamer tidak memandang sejarah sebagai objek, pasif dan dapat
diinvestigasi, seperti pendapat Dilthey. Bagi Gadamer, manusia tidak dapat
dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia
sudah berada di dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh
sebab itu, dunia tidak dapat diobjektifikasikan.
Metode
ilmiah sebagaimana yang dikembangkan sejak periode Pencerahan (enlightenment)
keliru karena ingin memisahkan antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai
objek.[22]
Jadi, efek kesadaran sejarah adalah kondisi yang non-objektifikasi.
Sekalipun begitu, kesadaran yang non-objektifikasi selalu mengiringi
proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always
accompanies the process of understanding”.[23]
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia sebenarnya telah ada sebelum manusia
mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang
tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman bukanlah salah
satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan ontologis.
Gadamer
menolak pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menganggap penafsiran sebagai
aktifitas para penafsir dan merupakan persoalan metodologis. Schleiermacher menjadikan
persoalan hermeneutis sebagai epistemologis karena hermeneutika merupakan seni
untuk menghindari kesalah-pahaman. Padahal dalam pandangan Gadamer,
kesalah-pahaman mengasumsikan sebelumnya adanya kesepakatan umum (a common
accord/agreement/einverstandnis)[24]
tentang bahasa yang umum dan wawasan kebudayaan (a common linguistic and
cultural horizon).[25]
Gagasan
Gadamer tentang pemahaman sebagai persoalan ontologis berasal dari pendapat
gurunya yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Gadamer menyatakan karya Heidegger,
Being and Time, telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa pemahaman
merupakan bentuk dasar dari dasein.[26]
Bagi Heidegger, pemahaman (verstehen) lebih dari sekedar metode.
Sebabnya prarefleksi pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective
understanding). Pra-refleksi pemahaman merupakan bentuk dasar dari Dasein,
yang secara harfiah berarti di sana wujud. Pemahaman bukanlah sebuah daya
pemahaman, bukan pula aktifitas dari subjek yang sadar, tetapi watak dasar dasein,
yang selalu ditafsirkan, selalu terbuka kepada penafsiran dan masa depan.[27]
Dalam
pandangan Heidegger, ilmu pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari
wujud di dunia, subjek tidak dapat dipisahkan dari objek, dasein,
eksistensi manusia, ada di sana dan karena wujudnya di dalam dunia. Dunia
bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi memang eksistensi manusia ada di
dunia.[28]
Hermeneutika
dalam pandangan Gadamer bukanlah persoalan subjek yang berusaha untuk memahami
objek yang eksis independen dari kita. Sebabnya, kita telah dan selalu
diakibatkan oleh sejarah. Gadamer menyatakan: “Jika kita berusaha untuk
memahami fenomena sejarah dari jarak historis yang merupakan karakteristik dari
situasi hermeneutis, kita telah dan selalu diakibatkan oleh sejarah.” (If we
are trying to understand a historical phenomenon from the historical distance
which is characteristic of our hermeneutic situation, we are always already
affected by history).[29]
Keterkaitan kita dengan teks bukan saja semata-mata kita sebagai makhluk
sejarah berada dalam situasi kebudayaan kita, tetapi keterkaitan merupakan
sebuah keniscayaan. Prapenilaian kita akan selalu terikut dalam menafsirkan teks.
Tidak ada posisi netral dalam interaksi penafsir dengan tradisi.[30]
Disebabkan kesadaran diakibatkan oleh sejarah selalu mengiringi penafsiran,
maka Gadamer berpendapat makna prapenilaian perlu direhabilitasi. Bagi Gadamer,
prapenilaian bukanlah sesuatu yang selalunya negatif seperti yang biasa
dipahami. Gadamer menyatakan: “It is not so much our judgments as our
prejudices that constitute our being…Prejudices are not necessarily unjustified
and erroneous, so that they inevitably distort truth. In fact, the historicity
of our existence entails that prejudices, in the literal sense of the word, constitute
the initial directedness of our whole ability to experience. Prejudices are
biases of our openness to the world. They are simply conditions whereby we
experience something.”[31]
Menurut
Gadamer, konsep dasein akan menafikan penafsiran otonom dan objektif (autonomous
and objective interpretation). Ambisi ilmu-ilmu sosial untuk menjadi
objektif, sebenarnya telah didahului oleh pemahaman sebelumnya yang berasal
dari tradisi sejarah.[32]
Jadi, Gadamer menyangkal keabsahan konsep objektifitas bagi kemanusiaan yang
didasarkan kepada metode, dan disejajarkan dengan ilmu-ilmu alam. Pendapat ini
mendorong Gadamer untuk menyalahkan Schleiermacher dan Dilthey karena masih
terjerat dengan asumsi-asumsi objektif ilmu-ilmu alam. Schleiermacher dan
Dilthey ingin mendapatkan sebuah metode yang berusaha untuk menghapus jarak
sejarah, dengan asumsi bahwa kondisi manusia menjadi berbeda disebabkan kondisinya
oleh sejarah. Menurut Gadamer, versi pemahaman psikologis tersebut dibangun
atas kesalahapahaman, yaitu: pemahaman (sejarah) menuntut kita untuk keluar
dari kaca mata kita dan masuk ke dalam kaca mata orang lain untuk kembali
mengalami niat subjektif para pengarang, seakan-akan mereka adalah
entitas-entitas tetap. Padahal, menurut Gadamer, sebelum kita melibatkan diri
kita dengan niat subjektif mereka, kita terlebih dahulu terlibat dengan apa
yang mereka katakan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh
interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait
yang mengkondisikan pengalaman individu. Menggunakan metode untuk menetapkan
kebenaran dalam niat orang yang lain bukan menggiring kepada kebenaran, tetapi
semakin menjauhkan. Sebabnya, metode tersebut mengharuskan kita untuk
menjadikan pihak lain sebagai objek dan mengabaikan keterlibatan dengan klaim
kebenaran yang mereka buat.[33]
Bagi
Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi seperti yang dipahami oleh Schleiermacher
dan Dilthey, tetapi mediasi (understanding is not reconstruction but
mediation). Kita adalah penyampai masa lalu kepada masa sekarang. Pemahaman
pada esensinya tetap merupakan sebuah mediasi atau penerjemahan makna masa lalu
ke dalam situasi sekarang. Jadi, Gadamer menekankan secara khusus bukan kepada
aplikasi metode oleh subjek, tetapi kepada kesinambungan sejarah yang merupakan
medium yang melingkupi setiap tindakan subjek dan objek-objek yang ia pahami.
Pemahaman merupakan sebuah peristiwa, sebuah gerak sejarah tersendiri yang baik
penerjemah ataupun teks tidak dapat dipikir sebagai bagian-bagian yang otonomi.
Inti pemahaman bukanlah dipikirkan kebanyakannya sebagai tindakan subjektifis,
tetapi sebagai masuknya ke dalam peristiwa transmisi yang masa lalu dan masa
sekarang dimediasikan secara konstan.[34]
Gadamer
memaknai pemahaman sebagai saling-memahami. Jadi, pemahaman merupakan upaya
bersama. Pemahaman selalu sebagai upaya untuk mengerti tentang sesuatu. (Understanding
means understanding one another. Understanding first of all having come
to a mutual understanding. Understanding is always coming to an
understanding about something). Konsep saling-memahami terabaikan dalam
pemikiran Schleiermacher. Dalam pandangan Gadamer, konsep pemahaman dalam
pemikiran Schleiermacher adalah pemahaman seseorang terhadap yang lain. Bagi
Gadamer, konsep pemahaman seperti ini adalah konsep satu arah (unilateral).[35]
Gadamer
juga tidak sependapat dengan Schleiermacher yang memahami hermeneutic circle
(lingkaran penafsiran) sebagai persoalan metodologis. Dalam pandangan Gadamer, hermeneutic
circle adalah persoalan ontologis. Bagi Gadamer, teks itu bukanlah sebagai
sesuatu yang terletak di depan kita seolah-olah ia adalah objek dalam sejarah
yang kita tidak memiliki hubungan intrinsik. Dalam pandangan Gadamer, itu
adalah distorsi kepada watak dasar dari hermeneutic circle yang mencakup
orang yang mengetahui dan apa yang yang diketahui. Gadamer meminjam konsep
Heidegger tentang dunia bukan saja merujuk kepada sebuah situasi yang yang
terbuat dari susunan objek-objek empiris di depan seorang subjek, tetapi fakta
bahwa manusia selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita
menemukan diri kita berada dalam dunia yang tidak kita ciptakan, dan inilah
dunia kita.[36]
Jadi, menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang
dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa
pra-duga tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika
kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut.[37]
Gadamer juga menegaskan penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks
tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi
yang netral. Penafsiran merupakan penafsiran ulang, memahami lagi teks secara
baru dan makna baru juga.[38]
Dari
pemaparan ringkas di atas, dapat disimpulkan pemikiran Gadamer yang menganggap
pemahaman sebagai persoalan ontologis telah menggiringnya untuk merombak
beberapa konsep seperti fungsi kondisi sekarang penafsir (situasi hermeneutis),
konsep masa lalu (kesadaran yang disebabkan oleh sejarah merupakan sumber
kemungkinan-kemungkinan makna dibanding sebagai objek investigasi yang pasif),
prapenilaian yang bermakna positif, selain mengandung makna negatif, makna
terletak bukan dalam niat pengarang, namun berada di luar subjek. Gadamer juga
menjadikan hermeneutika sebagai dasar kepada filsafat dan ilmu pengetahuan
lainnya. Bukan seperti Dilthey, yang ingin menjadikan hermeneutika sebagai
fondasi kepada geisteswissenschaften. Ringkasnya, hermeneutika Gadamer
merupakan jawaban terhadap pertanyaan How understanding is possible?.
Perdebatan
hermeneutis selanjutnya adalah antara Habermas dan Gadamer, Habermas mengkritik
Truth and Method (1960) dalam On the Logic of the Social Sciences
(1967). Gadamer menjawab kritikan Habermas dalam sebuah essai berjudul Rhetoric,
Hermeneutics, and the Critique of Ideology: Metacritical Comments on Truth and
Method (1967). Habermas menanggapi lagi tulisan Gadamer tersebut dalam
artikel yang berjudul The Hermeneutic Claim to Universality (1970).
Gadamer menjawab lagi kritikan tersebut dalam artikel yang berjudul Reply to
My Critics (1971).[39]
Habermas
dalam banyak hal setuju dengan Gadamer dan menjadikan hermeneutika Gadamer
sebagai sub sistem kepada gagasan yang lebih mendasar, yaitu Critical Theory
(Teori Kritis). Habermas menyetujui gagasan Gadamer bahwa bahasa adalah sentral
dari eksistensi manusia. Metodologi yang mengklaim objektif adalah ilusi dan
konsep dunia eksternal selalu terkandung dan tidak dapat dipisahkan dari
tradisi. Habermas juga menyetujui watak dasar dari bahasa adalah dialogis.
Namun, dalam hal ini, Habermas mengembangkan gagasan tersebut dengan lebih
kritis. Bagi Habermas, pendapat Gadamer tentang kemungkinan adanya konsensus
yang asli adalah naif.
Menurut
Habermas, konsensus yang asli mengandaikan situasi pembicaraan yang ideal (the
ideal speech situation). Konsensus asli didasarkan kepada ide semua pihak
harus memiliki kesamaan, kesempatan dialogis yang menyumbang kepadanya.[40]
Namun, kondisi tersebut tidak mudah untuk diraih. Dalam pandangan Habermas,
Gadamer terlalu menjadikan tradisi sebagai suatu otoritas. Padahal, tradisi
bukanlah suatu kondisi yang harus ada, tetapi merupakan proses sejarah yang
terpecah dengan kekuatan-kekuatan dominasi yang mendistorsi dialog. Karena
kekuatan-kekuatan ini mempengaruhi tradisi melalui jalan ekstra-dialog. Oleh
sebab itu, Habermas berpendapat, sosiolog perlu langkah-langkah konseptual
untuk melepaskan dirinya dari tradisi, supaya menjadi terang.[41]
Menurut
Habermas, kekuatan refleksi mampu untuk menelusuri asal mula pemahaman kita
terhadap sesuatu di dalam tradisi dan mengambil sikap yang tidak dogmatis.
Refleksi mampu meletakkan kita dalam hubungan yang berbeda dengan sesuatu syang
kita pahami sebelumnya dangan cara yang otomatis. Habermas menolak konsep
Gadamer tentang prapenilaian yang berfungsi sebagai bukti dalam validitas
penafsiran. Bagi Habermas, Gadamer tidak dialogis karena tidak memperkenankan
refleksi utuk memecahkan ilmu pengetahuan yang telah ditanamkan oleh tradisi.
Bagi Habermas, kekuatan refleksi hilang terabaikan dalam pemikiran Gadamer.[42]
Selain
mengabaikan kekuatan refleksi, Habermas juga menyatakan bahwa bahasa bukan saja
berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga kekuatan dan dominasi. Dalam
pandangan Habermas, Gadamer telah mengabsolutkan bahasa, dan menjadikannya
satu-satunya meta-institusi dan mangabaikan statusnya sebagai kekuatan
ideologis yang menetralkan hubungan ketikadilan sosial yang sistemik. Ringkasnya,
bagi Habermas, bahasa berfungsi melegitimasikan dominasi kelas.[43]
Selain kekuatan yang membentuk bahasa, Habermas juga menyatakan sistem-sistem
buruh juga mempengaruhi bahasa dari luar. Jadi, pandangan Gadamer, kesadaran
yang terartikulasikan secara bahasa menentukan wujud materi kehidupan-praktis (linguistically
articulated consciousness determines the material being of life-practice),
adalah naif. Bagi Habermas, yang lebih menentukan kehidupan manusia adalah
konteks aksi sosial yang objektif yang tidak dapat direduksi kepada dimensi
intersubjektifitas yang dimaksud dan makna yang ditransmisikan secara simbolis.
(…the objective context of social action is not reducible to the dimension
of intersubjectively intended and symbolically transmitted meaning).[44]
Ringkasnya,
bagi Habermas, Realitas lebih menentukan dibanding bahasa. Gadamer versus Eric.
D. Hirsch (1928) menegaskan tujuan penafsiran adalah untuk mengenal kembali
makna yang dimaksud oleh pengarang. Tujuan tersebut memungkinkan untuk bisa
diraih. Hirsch mengemukakan 5 argumentasi untuk menunjukkan mengenal kembali
makna yang dimaksud oleh pengarang memang bisa diketahui. Pertama,
argumentasi praktis atau logis (the practical or logical argument). Jika
seseorang ingin mengklaim keabsahan penafsirannya, maka dia harus mengaitkannya
dengan standart yang diterima secara umum. Kedua, argumentasi moral
tradisional (the traditional moral argument). Manusia seharusnya
berusaha untuk meluaskan wawasan mereka. Penafsiran yang bertujuan untuk
mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang adalah perluasan wawasan
kepada seseorang. Oleh sebab itu, para penafsir seharusnya bertujuan untuk
mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Ketiga, argumentasi
moral atau argumentasi dari etika bahasa (the moral argument or the argument
from the ethics of language). Manusia seharusnya memperlakukan orang lain
sebagai tujuan (ends) bukan sebagai cara (means). Teks-teks yang
merupakan ungkapan kemanusian manusia, seharusnya juga diperlakukan sebagai
tujuan bukan semata-mata cara. Ketika seorang penafsir bertujuan untuk mengenal
kembali makna yang dimaksud oleh pengarang, penafsir tersebut sedang
memperlakukan teks karya pengarang tersebut sebagai tujuan. Oleh sebab itu,
penafsir tersebut seharusnya mengenal kembali makna yang dimaksud oleh
pengarang. Keempat, argumentasi dari peraturan emas (the argument
from the golden rule). Manusia seharusnya hidup sesuai dengan prinsip:
berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin mereka berbuat kepadamu.
Seorang penafsir akan lebih menghendaki supaya orang lain menafsirkan teksnya
dengan tujuan mengenal kembali makna yang dimaksudkannya. Oleh sebab itu,
penafsir tersebut seharusnya bertujuan untuk mengenal kembali makna yang
dimaksud oleh orang lain. Kelima, argumentasi dari karya (the
argument from vocation). Penafsiran merupakan sebuah karya. Karya tersebut
mengandung kewajiban-kewajiban moral tertentu. Di antara kewajiban-kewajiban
tersebut adalah kewajiban untuk mengenal kembali makna yang dimaksudkan oleh
pengarang. Oleh sebab itu, seseorang yang melakukan penafsiran sebagai sebuah
karya seharusnya bertujuan seperti itu.
Gadamer
menolak pendapat Hirsch. Bagi Gadamer, fungsi primer makna bukanlah merujuk
kepada akal pengarang, tetapi kepada pokok persoalan (sache) yang dibawa
oleh bahasa. Jadi kesatuan bahasa dan pokok persoalan adalah tempat
bersemayamnya kebenaran.[45]
Dalam pandangan Gadamer, makna sebuah teks historis tidaklah diberikan dan
ditetapkan oleh pengarang orisinal, atau konteks dimana teks tersebut muncul
pertama kalinya. Makna sebuah teks adalah dan sebagaimana awalnya, merupakan
sebuah pesta yang bergerak. Maksud sebuah teks adalah hasil dari makna-makna
yang bertumpuk yang dicapai oleh teks tersebut dalam penafsiran-penafsirannya
yang historis dan beragam. Tidak ada makna orisinal yang murni kepada teks.
Setiap pemahaman terhadap teks melibatkan proyeksi prapenilaian-prapenilaian
dari wawasan historis yang particular, baik sejarawan menyadarinya ataupun
tidak. Prapenilaian-prapenilaian ini dimainkan untuk melawan objek dan mediasi
antara keduanya menghasilkan akumulasi makna yang mengendap. Inilah selalu yang
merupakan prinsip, tidak sempurna, dan wawasan baru tersebut secara
retrospektif akan membuka aspek-aspek baru dalam makna yang bersemayam dalam
teks historis.
3. Penolakan Hermeneutika Gadamer dalam Studi
Al-Qur’an
Apa yang
datangnya dari Barat belum tentu baik, memang ungkapan yang perlu dibuang cepat
dan jauh-jauh oleh seseorang pencari ilmu dan kebenaran, khususnya oleh para
sarjana Muslim. Karena tidak selamanya yang datangnya dari dunia Barat (non-Muslim)
selalu bertentangan dengan tradisi keislaman. Kemajuan teknologi dan
informatika yang berkembang saat ini telah mampu menjadi bukti bahwa yang
datang dari dunia Barat sangat bermanfaat dan membantu perkembangan dunia
Islam. Sejarah juga telah mencatat bagaimana hebatnya masa Dinasti Abbasiyah
yang mampu menaklukan dunia berabad-abad lamanya, adalah karena adanya
kesadaran para khalifah Dinasti Abbasiyah untuk melakukan pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah melalui
penerjemaham-penerjemahan karya-karya besar dari para filusuf Yunani, semisal
Aristoteles, Plato, dan para filusuf besar lainnya.[46]
Apakah kehebatan sejarah ini belum dapat menjadi bukti betapa petingnya
mengkaji dan menelaah kembali ilmu-ilmu yang datangnya dari dunia Barat.
Namun
demikian, dalam menerima apa yang datangnya dari dunia Barat perlu adanya
kehati-hatian, perlu proses pengkajian yang mendalam dan panjang, dan perlu
juga memahami motivasi-motivasi apa yang terkandung didalamnya. Sebagaimana
seperti dalam menerima teori hermeneutika Hans Georg Gadamer untuk menafsirkan
teks-teks al-Qur’an. Meskipun pencetusnya sendiri, Hans Georg Gadamer, pada
awalnya tidak mereferensikan secara eksplisit konsep teori hermeneutikanya
untuk dimanfaatkan menafsirkan teks-teks al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di
awal penulisan makalah ini, bahwa awal mula penggunaan konsep hermeneutika
adalah dimanfaatkan untuk menafsirkan teks-teks Bible. Hanya kalangan para
penafsir Muslim kontemporer sendirilah yang sangat antusias untuk memanfaatkan
konsep hermeneutika sebagai sarana studi al-Qur’an.
Bible
bukan al-Qur’an, ini jelas dan tidak terbantahkan oleh siapapun. Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril, sedangkan Bible lebih merupakan sebuah hasil dari kreativitas
manusia. Meskipun keduanya sama-sama teks-teks suci yang masih perlu dan
terbuka untuk ditafsirkan. Namun, perbedaan eksistensi Bible dan al-Qur’an ini
seharusnya yang perlu diperhatikan dalam menggunakan ilmu hermeneutika untuk menafsirkan
teks al-Qur’an. Sehingga penggunaan ilmu hermeneutika dalam penafsiran teks
al-Qur’an masih dipertanyakan keabsahannya. Walaupun secara substansinya, para
cendekiawan Muslim yang antusias dengan ilmu hermeneutika, menyamakan antara
ilmu hermeneutika dengan ilmu tafsir karena objek kajiannya sama-sama
mengungkap makna teks. Namun hermeneutika tetap hermeneutika yang tidak dapat
digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an, karena hermeneutika memiliki metode
sendiri. Begitu juga sebaliknya ilmu tafsir juga berdiri dengan metodenya
sendiri yang telah teruji keguanaannya dalm menafsirkan teks al-Qur’an dari
awal perkembangan Islam sampai dengan saat sekarang ini.
Ada dua
alasan yang mendorong penulis untuk tidak sependapat dengan para cendekiawan
Muslim yang memanfaatkan ilmu hermeneutika secara umum untuk menafsirkan teks
al-Qur’an.
Pertama,
hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup
masyarakat penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk hermeneutika,
pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan
pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh sebagian besar mufassir.
Beberapa cendekiawan, seperti Alparslam, Hamid Fahmy, Anis Malik Toha, dan Wan
Moh Nor sejalan dengan faham di atas. Alparslan (salah seorang cendekiawan
Turki) berpendapat, “Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan
dari konsep-konsep yang dalam konteks keilmuan berkembang menjadi tradisi
ilmiah (scientifik tradition)”.[47]
Tradisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan berbagai disiplin ilmu, seperti
yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep hermeneutika. Karena ilmu
dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri
dalam bidang etika, ontologi, kosmologi dan metafisika. Hal-hal inilah yang
menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk hermeneutika tidak
netral.
Untuk
memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat salah seorang pakar hermeneutika
Werner G.Jeanrond. Ada tiga milleu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya
hermeneutika sebagai suatu metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama milleu
masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu
masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci mereka
dan berupaya untuk mencari model yang cocok untuk interpretasi. Ketiga masyarakat
Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha lepas dari tradisi dan
otoritas keagamaan dan membawa Hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.[48]
Selain
itu, epistemologi dalam Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Dalam Islam
sumber inspirasi tidak hanya akal, karena akal manusia mempunyai keterbatasan.
Al-Qur’an banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan
hal ini tidak pernah terlintas dalam pemikiran para pakar hermeneutika.
Misalnya, cerita kapal Nabi Nuh, Nabi Ibrahim yang tidak hangus dibakar, Nabi
Musa yang dapat membelah laut, isra dan mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dan banyak
lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah khayalan manusia akan tetapi
merupakan khabar shadiq (benar dan tidak diragukan lagi).
Selain
itu pula jika ilmu pengetahuan berdasarkan pada kepentingan individu, baik
bersifat politik, ekonomis maupun idiologi, maka pengetahuan itu tidak dapat
diaplikasikan untuk kepentingan individu lain. Apalah lagi diaplikasikan untuk
menjelaskan makna-makna ajaran dalam al-Qur’an. Memahami al-Qur’an dengan
metode Habermas misalnya, justru mereduksi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam
makna-makna individu. Dalam Islam wahyu (revelation) menempati posisi
penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti pendapatnya
Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio sekaligus yang
berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu pengetahuan. Di
sinilah letak perbedaan epistemologi hermeneutika Barat dan Islam.[49]
Kedua,
hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks
tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Menurut
Komaruddin (1996:126) hermeneutika memiliki banyak persamaan dengan ilmu tafsir
yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah.[50]
Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan
masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa
digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Suatu peradaban
bisa saja mengimport suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi konseptual
atau apa yang disebut borrowing proses. Jika modifikasi konsep ini
melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma
Shift) tidak dapat dielakkan. Selain itu juga, implementasi hermeneutika
dalam Islam berbeda dengan hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi
hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk mencari orisinialitas kitab
suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam, sehingga
mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan paling benar. Sedangkan
penggunaan hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk
mencari keotentikan teks al- Qur’an, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling
mendekati kebenaran, dan kebenaran dari suatu tafsir mutlak hanya Allah yang
mengetahui.
Demikian
dua alasan penulis untuk menolak ilmu hermeneutika secara umum untuk
menafsirkan teks al-Qur’an. Adapun secara khususnya bantahan penulis menolak
hermeneutika Hans Georg Gadamer adalah karena alasan-alasan berikut.
Pertama,
hermeneutika Gadamer mengimplikasikan bahwa
penafsiran akan selalu terbuka karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi
berubah untuk meraih persamaan paham. Dalam pandangan Gadamer, kesamaan
pendapat dan pemahaman bermakna ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya tidak tepat
karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons) tidak identik dengan
kebenaran. Penafsiran terhadap al-Qur’an yang dicampurkan dengan penafsiran
tradisi (kesadaran sosial) yang akan menghasilkan misalnya, berbagai warna
Islam, seperti Islam Kejawen, Islam Indonesia, Islam Demokrasi, Islam Moderat,
tidaklah sesuai dengan pandangan alam Islam. (Islamic worldview).
Kedua,
hermeneutika Gadamer mensyaratkan keharusan relatifitas tafsir. Maka itu,
tafsir yang sudah dihasilkan oleh para mufassir terkemuka harus selalu
direvisi. Dampak hermeneutika Gadamer akan menggugat hal-hal yang sudah mapan
dalam penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarah ilmu tafsir, mufassir al-Qur’an tidak
selamanya terpengaruh dengan tradisi, latar-belakang sosial dan budayanya.
Fakta bahwa mufassir dari zaman ke zaman, lintas waktu dan ruang, namun tetap
memiliki kesamaan pendapat, menunjukkan refleksi mufassir menembus relatifitas
penafsiran.
Oleh
karena itu, hermeneutika Hans Georg Gadamer dapat dikatakan tidaklah sesuai
dengan konsep ilmu tafsir dalam Islam. Konsep ilmu tafsir dalam tradisi Islam
bersumber dari wahyu yang didukung oleh akal dan panca-indera. Wahyu dalam
Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya, amalannya,
ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh
Rasulullah saw. Oleh sebab itu, hermeneutika Gadamer yang merelatifkan tafsir
al-Qur’an, tidaklah sesuai dengan konsep ajaran Islam.
Meskipun
secara umum penulis menolak penggunaan ilmu hermeneutika dalam menafsirkan teks
al-Qur’an, namun ada harapan penulis untuk menjadikan ilmu hermeneutika ini
sebagai bahan perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena dalam
perkembangan ilmu tafsir sendiri, juga muncul berbagai model dan pendekatan
tafsir yang hampir mendekati sama dengan metode hermeneutika, seperti: tafsir bi
al-ma’tsur yang mendekati sama dengan pendekatan hermeneutika objektik dan
tafsir bi al-ra’yi yang mendekati sama dengan pendekatan hermeneutika
sebjektif. Selain itu pula ilmu hermeneutika sebaiknya ditempatkan sebagai second
opinion dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Artinya, ilmu hermeneutika
sebaiknya ditempatkan sebagai pelengkap dari metode-metode ilmu tafsir yang
telah ada, bukan sebagai metode penafsiran baru yang ingin merombak tatanan
keilmuan yang telah mapan dalam khazanah kajian keislaman.
C.
Kesimpulan
Metode-metode
hermeneutika di Barat, tanpa bermaksud untuk apologi, sebenarnya ada kesesuaian
dan tidak berbeda jauh dengan ilmu tafsir yang berkembang dalam tradisi
pemikiran Islam. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh para
antusiasme ilmu hermeneutika, jika ingin menggunakannya sebagai metode
menafsirkan al-Qur’an.
Pertama,
Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat
petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an baik dari segi bahasa
maupun isinya mengandung mukjzat, seluruhnya hak dan setiap muslim harus
menerimanya dengan tanpa keraguan. Jika kita menerima hermeneutika sebagai
instrumen untuk menafsirkan al-Qur’an, maka keyakinan tersebut akan runtuh.
Sebagai contoh, jika kita menerima teori Critical Hermeneutika-nya
Habermas kita dituntut untuk bersikap kritis dan curiga pada setiap teks dan
penafsiran. Sikap ini jelas-jelas tidak bisa diterapkan untuk pencipta
al-Qur’an dan para mufassir yang diyakini mempunyai keikhlasan yang luar biasa.
Kedua, jika
kita menerima hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an termasuk pemikiran
Gadamer, maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran
al-Qur’an. Dia berpendapat, bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, sebab jika
ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu. Dalam pandangannya rasio pemahaman
apapun atas sebuah riset pasti mengandung sebuah prejudice. Baginya
kebenaran hanyalah merupakan khayalan dan rekayasa, bukan merupakan penemuan.
DAFTAR PUSTAKA
Acikgence,
Alparslan, Islamic Science,Toward Definition, Kualalumpur: ISTAC,1996
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,
Beirut: Dar al-Fikr, 1976
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam,
Jakarta: Amzah, 2010
Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX,
Jakarta: Gramedia, 1981
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics,
London: Routlege & Kegan Paul, 1980
Crasnow,
Ellman, “Hermeneutics” dalam A Dictionary of Modern Critical Terms,
Roger Flower, New York: Routledge and Paul Kegan, 1987
Eliade, Mircea, The Encyclopedia of Religion,
New York: Macmillan, 1993
Friedrich,
D. E. Schleiermacher, The Hermeneutic: Outline of the 1819 Lectures, New
York: Sunny, 1990
Gadamer, Hans-Georg, Philosophical
Hermeneutics, Penj. David E. Linge, California: University of California
Press, 1976
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia
dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003
Hidayat,
Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta:
Paramadina, 1996
How,
Alan, The Habermas-Gadamer Debate and the Nature of the Social, Avebury:
Aldershot, 1995
Leidecker, Kurt F., “Hermeneutics” dalam
Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, New York: Adams &
Co, 1976
Moran, Dermot, Introduction to Phenomenology,
London: Routledge, 2000
Nasir, Malki Ahmad, Hermeutika Kritis (Studi
Kritis atas Pemikiran Habermas” dalam Jurnal Islamia Thn. I No.I
Jakarta: Khairul Bayan, 2004
Nurkholis, Ahmad, Memoar Cintaku: Pengalaman
Empiris Pernikahan Beda Agama, Jakarta: LKiS, 2004
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas,
terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1992
Sumaryono, Hermeneutik, Yogyakarta:
Kanisius, 1996
Syirbasyi,
Ahmad, Qishat al Tafsir, Kairo: Dar al-Qalam, 1962
Tatar,
Burhanettin, Interpretation and the Problem of the Intention of the Author:
Hans-Georg Gadamer vs E.D. Hirsch, Washington D.C.: The Council for
Research in Values and Philosophy, 1998
Weinsheimer, Joel C., Gadamer’s
Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven: Yale University,
1985
Werner,
G Jeanrond, Theological Hermeneutic, Development and Significantce,
Macmillan: London, 1991
Zaid, Nasr Hamid Abu, Isykaliyat
al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah, Kairo: al-Markaz al-Tsaqafi, tt
[1] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 75
[2] Ahmad
Nurkholis, Memoar Cintaku: Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama,
(Jakarta: LKiS, 2004), hlm. 205
[3] M.
Quraish Shihab, Op.Cit, hlm. 72
[4] Lihat: Ahmad Syirbasyi, Qishat al Tafsir,
(Kairo: Dar al-Qalam, 1962)
[5] Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta:
Teraju, 2003), hlm. 248
[6] Kurt F.
Leidecker, “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of
Philosophy, (New York: Adams & Co, 1976), hlm. 126
[7] Mircea
Eliade, The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan, 1993), hlm.
279
[8] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 125
[9] K.
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 225
[10]
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976),
hlm. 15
[11] D. E. Schleiermacher Friedrich, The
Hermeneutic: Outline of the 1819 Lectures, (New York: Sunny, 1990), hlm. 93
[12] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1985), hlm. 9-10
[13] Josef
Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Routlege & Kegan Paul,
1980), hlm. 29.
[14] Ibid,
hlm.14
[15] Nasr
Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah, (Kairo: al-Markaz
al-Tsaqafi, tt), hlm. 12-13
[16] K.
Bertens, Op.Cit., hlm. 230.
[17]
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 77
[18] Ibid
[19] Nasr
Hamid Abu Zaid, Op.Cit., hlm. 38
[20] Gadamer
menyatakan: “In truth history does not belong to us; but we belong to it.
Long before we understand ourselves through the process of self-examination, we
understand ourselves in a self-evident way in the family, society and state in
which we live…. The self-awareness of the individual is only aflic kering in
the closed circuits of historical life. For this reason, the rejudices of the
individual, far more than his judgements, constitute the historical reality of
his being.” Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of
Truth and Method, (New Haven: Yale University, 1985), hlm. 169
[21]
Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, Penj. David E. Linge
(California: University of California Press, 1976), hlm. xiv-xv.
[22] Dermot
Moran, Introduction to Phenomenology, (London: Routledge, 2000), hlm.
266
[23] Joel C.
Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 32
[24]
Hans-Georg Gadamer, Op.Cit., hlm. 7
[25] Burhanettin Tatar, Interpretation and the
Problem of the Intention of the Author: Hans-Georg Gadamer vs E.D. Hirsch,
(Washington D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 1998),
hlm. 7
[26] Gadamer menyatakan: “Heidegger’s temporal
analytics of Dasein has, I think, shown convincingly that understanding is not
just one of the various possible behaviours of the subject but the mode of
Being of Dasein itself.” (Die Seinsweise des Daseins selber).
Dikutip dari Dermot Moran, Op.Cit., hlm. 258
[27] Joel C.
Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 162-63
[28] Ibid,
hlm. 161
[29] Dermot
Moran, Op.Cit., hlm. 279
[30] Ibid
[31] Ibid,
hlm. 278
[32] Alan How, The Habermas-Gadamer Debate and
the Nature of the Social, (Avebury: Aldershot, 1995), hlm. 9
[33] Ibid,
hlm. 43
[34]
Hans-Georg Gadamer, Op.Cit., hlm. xvi
[35] Joel C.
Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 137
[36] Alan
How, Op.Cit., hlm. 45
[37] Ibid,
hlm. 47
[38] Ellman Crasnow, Hermeneutics dalam A
Dictionary of Modern Critical Terms, Roger Flower, (New York: Routledge and
Paul Kegan, 1987), hlm. 110
[39] Alan How, Op.Cit., hlm. 120
[40] Ibid,
hlm. 134-135
[41] Ibid,
hlm. 139
[42] Ibid,
hlm. 143-144
[43] Habermas menyatakan: “…clearly this
meta-institution of language as tradition is dependent in turn on social
processes that cannot be reduced to normative relationships. Language is also
the medium of domination and social power. It serves to legitimate
relationships power of organized force. Insofar as legitimations do not
articulate the power relationships whose institutionalisation they make
possible, insofar as that relationship is merely manifested in the
legitimations, language is also ideological In that case it is not so much a
question of deception in language as of deception with language as such.”
Dikutip dari Alan How, Op.Cit., hlm. 145
[44] Ibid,
hlm. 147
[45]
Burhanettin Tatar, Op.Cit., hlm. 1
[46] Samsul
Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.
144-145
[47] Alparslan Acikgence, Islamic Science,Toward
Definition, (Kualalumpur: ISTAC,1996), hlm. 29
[48] G Jeanrond Werner, Theological Hermeneutic,
Development and Significantce, (Macmillan: London, 1991), hlm. 12-13
[49] Malki Ahmad Nasir, Hermeutika Kritis (Studi Kritis atas
Pemikiran Habermas dalam Jurnal Islamia Thn. I No.I (Jakarta:
Khairul Bayan, 2004), hlm. 36
[50] Komaruddin Hidayat, Op.Cit., hlm. 126