Kamis, 13 Maret 2014

PERKEMBANGAN HERMENEUTIKA DALAM STUDI TAFSIR AL-QUR'AN



STUDI PERKEMBANGAN HERMENEUTIKA
DALAM TAFSIR AL-QUR’AN


A.      Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW., telah terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada sisi eksistensinya yang tidak pernah rapuh dan tergoyahkan, tetapi juga pada sisi ajaran-ajarannya yang telah terbukti mampu mengikuti perkembangan zaman, sehingga ia (al-Qur’an) mampu menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia menuju kehidupan hakiki di akhirat sejak awal diturunkannya hingga sekarang ini. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spiritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia, dengan perkataan lain sempurnalah isi al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk hidup umat manusia.
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh umat manusia yang beriman kepada isi yang terkandung di dalamnya. Namun dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan sahabat-sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami alamiah struktur bahasa dan makna kosa katanya. Tidak jarang, mereka sering kali berbeda pendapat atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar atau yang mereka baca itu.[1]
Pada zaman Rasul masih hidup, umat Islam tidak banyak rnenemukan kesulitan dalam memahami petunjuk al-Qur’an, sebab jika mereka menemukan berbagai kesulitan, mereka dapat bertanya langsung kepada Rasul. Akan tetapi, sepeninggal Rasul, umat Islam banyak menuia kesulitan, meskipun mereka sangat mengerti dan memahami bahasa Arab. Kesulitan ini menurut Ahmad Nurcholis, lebih disebabkan karena teks-teks al-Qur’an itu sendiri banyak mengandung makna-makna literal dan simbolis sehingga satu kosa kata bahasa Arab dapat memiliki sejumlah makna, tergantung konteksnya.[2] Konteks ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh M. Quraish Shihab, kemudian membawa pada pemikiran bahwa teks-teks al-Qur’an selalu terbuka (untuk ditafsirkan) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interprestasi tunggal.[3]
Seiring dengan itu, kemudian munculah berbagai macam corak dan pendekatan penafsiran teks-teks al-Qur’an yang coba diterapkan oleh para mufassir. Sebagaimana perkembangannya, corak dan pendekatan penafsiran al-Qur’an yang berkembang sampai saat ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: Pertama, tafsir al-Qur'an dengan metode penafsiran klasik, dan Kedua, tafsir al-Qur'an dengan metode penafsiran modern. Tafsir al-Qur’an dengan metode penafsiran klasik terbentuk dengan metode bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyaroh. Sedangkan penafsiran modern lebih menggunakan metode penafsiran tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i. Adapun corak yang mendominasinya, pada tafsir klasik ada yang bercorak salafi, i’tizali, sunni, siyasi, falsafi, shufi, maupun fiqhi, dan pada corak tafsir modern antara lain: ilmi, adabi ijtima’i, bayani, dan ilhadi.[4] Dan, ada juga tafsir al-Qur’an yang berorientasi pada teks-teksnya al-Qur’an saja yang kemudian disebut dengan pendekatan tafsir tekstual, maupun yang berorientasi pada konteks pembaca (penafsir) yang kemudian disebut dengan pendekatan tafsir kontekstual.[5]
Meskipun telah banyak corak dan pendekatan penafsiran al-Qur’an yang coba ditawarkan oleh para mufassir, namun akhir-akhir ini ada kecenderungan di kalangan kaum muslimin, seperti: Fazlur Rahman, Mohammed Talbi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan juga Sahiron Syamsudin sangat antusias memanfaatkan pendekatan disiplin ilmu lain, yaitu penafsiran teks yang berkembang di negara-negara Barat (non-Muslim), seperti ilmu hermeneutika untuk menggali dan membongkar isi kandungan al-Qur’an. Penggunaan ilmu tersebut dalam penafsiran al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai komplemen namun ada pula yang menempatkannya sebagai suplemen.
Meskipun, penggunaan hermeneutika dalam dunia penafsiran al-Qur’an adalah merupakan hal baru dan belum pernah dilakukan oleh para mufassir terdahulu (klasik) namun dalam perkembangannya ilmu ini telah mampu menampakan sisi kemapanannya, sehingga ilmu ini mampu menyihir sebagian mufassir modern untuk menggunakan hermeneutika dalam memahami teks-teks al-Qur’an.
Pada awal abad ke-20 beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla dalam tafsirnya al-Manar telah menggunakan ilmu ini dalam praktek penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, walaupun dia belum secara eksplisit memproklamirkan penggunaan hermeneutika dalam penafsirannya. Penggunaan ilmu hermeneutika secara terang-terangan baru dilakukan pada akhir abad keduapuluhan oleh para cendekiawan Islam kontemporer, dan hasilnya ternyata telah mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam membuka wacana baru pembacaan teks-teks suci al-Qur’an.
Perkembangan yang menggembirakan inilah kemudian membawa penggunaan konsep hermeneutika dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an mendapat tanggapan serius dan beragam dari para ulama yang antusias dengan ilmu ini, umumnya adalah konsep hermeneutika karya Hans Georg Gadamer, ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolaknya. Pro dan kontra inilah pada akhirnya yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih serius dalam tulisan makalah ini tentang Studi Perkembangan Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur’an.


B.       Pembahasan
1.    Konsep dan Perkembangan Hermeneutika
Asal mula kata hermeneutika adalah dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata hermeneuin yang berarti menafsirkan. Kemudian, kata hermeneutika diartikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci.[6] Hermeneutika sebagai sebuah seni menafsirkan mengharuskan adanya tiga komponen yang mengharuskan mengikutinya, yakni teks, penafsir dan penyampaian kepada pendengar.[7] Dalam ilmu tafsir hermeneutika berperan menjelaskan teks seperti apa yang diinginkan oleh si pembuat teks tersebut.
Menurut Komaruddin Hidayat, kata hermeneutika pada mulanya merujuk pada nama seorang dewa Yunani Kuno, Hermes yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan kepada manusia. Husein Nashr berpendapat bahwa Hermes tak lain adalah Nabi Idris As. Yang disebutkan dalam al-Qur’an.[8] Dalam legenda yang beredar di kalangan pesantren pekerjaan Nabi Idris As. adalah sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran Dewa Hermes, ternyata ada korelasi positif. Kata kerja memintal padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedangkan produknya disebut textus atau text yang merupakan isu sentral dalam hermeneutika.
Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika diartikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan.[9] Dengan demikian pengertian hermeneutika hampir sama dengan ilmu tafsir, karena definisi tafsir sendiri menurut Dzahabi, adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan, dalam al-Qur’an, sesuai dengan tingkat kemampuan manusia (bi qadr al-thâqah al-basyariyah).[10] Namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan telah meluas untuk memahami semua bentuk teks, baik sastra, karya seni, maupun tradisi masyarakat.
Istilah hermeneutika untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Aristoteles, yang termuat dalam sebuah buku karyanya berjudul Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul De Interpretatione, dan juga dalam bahasa Inggris dengan judul On the Interpretation. Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris, salah seorang filusuf Islam al Faraby (w.339/950) juga telah menterjemahkan dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut ke dalam bahasa Arab dengan judul fil ‘Ibarah.
Konsep hermeneutika yang digunakan Aristoteles memang masih sangat sederhana sekali, tidak sama dengan konsep yang digunakan sekarang ini. Hermenias yang dia kemukakan sekedar hanya membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran dan membahas tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (isim), kata kerja (fi’il), kalimat (jumlah), ungkapan (preposition) dan lain-lain yang terkait dengan bahasa. Ketika Aristoteles membicarakan hermenias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks, melainkan Aristoteles hanya membahas mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu.
Dalam perkembangan berikutnya pengertian hermeneutika beralih dari makna leksikal kepada makna istilah. Perkembangan ke arah ini dimulai oleh para teolog Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka (Bible). Mereka menggunakan hermeneutika bertujuan untuk mencari kebenaran dari kitab suci mereka yang sangat beragam. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap kalam Tuhan. Kitab Bible yang ada pada mereka sangat beragam antara karya yang satu dengan lainnya. Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan sebagai kalam Tuhan. Oleh karena itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika. Ketika perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat masih pada tahap ini maka ia diposisikan sebagai bagian dari ilmu filologi. Oleh karenanya historiografi merupakan klien hermeneutika yang paling setia.
Memasuki akhir abad ke-18, hermeneutika mulai dirasakan sebagai teman sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial pada umumnya. Ketika era metafisika mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli ilmu pengetahuan mulai berkurang, maka mulailah dikembangkan universalitas yang murni dan didapatkan di hermeneutika. Schleiermacher misalnya, menggunakan hermeneutika untuk memahami orisinalitas arti dari sebuah teks, bahkan lebih dari itu, arti hermeneutika baginya adalah untuk memahami sebuah wacana (discource) dengan baik kalau perlu lebih baik dari pembuatnya (to understand the discourse just well as well as and even better than its creator).[11]
Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Emilio Betti (1890-1968).[12] Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat intruktif.[13]
Guna mencapai tingkat seperti itu, Schleiermacher menggunakan dua cara yang ditempuh, lewat bahasanya yang mengungkapkan hal-hal baru dan lewat karakteristik bahasanya yang ditransfer kepada kita. Ketentuan ini didasarkan atas konsepnya tentang teks. Menurut Schleiermacher, setiap teks mempunyai dua sisi: 1) sisi linguistik yang menunjuk pada bahasa yang memungkinkan proses memahami menjadi mungkin, dan 2) sisi psikologis yang menunjuk pada isi pikiran si pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang digunakan. Dua sisi ini mencerminkan pengalaman pengarang yang pembaca kemudian mengkonstruksinya dalam upaya memahami pikiran pengarang dan pengalamannya.[14] Menurut Abu Zaid, diantara dua sisi ini, Schleiermacher lebih mendahulukan sisi linguistik dibanding analisa psikologisnya, meski dalam tulisannya sering dinyatakan bahwa penafsir dapat memulai dari sisi manapun sepanjang sisi yang satu memberi pemahaman kepada yang lain dalam upaya memahami teks.[15]
Selanjutnya, untuk dapat memahami maksud pengarang sebagaimana yang tertera dalam tulisan-tulisannya, karena style dan karakter bahasanya berbeda, maka tidak ada jalan bagi penafsir kecuali harus keluar dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk ke dalam tradisi dimana si penulis teks tersebut hidup, atau paling tidak membayangkan seolah dirinya hadir pada zaman itu. Sedemikian, sehingga dengan masuk pada tradisi pengarang, memahami dan menghayati budaya yang melingkupinya, penafsir akan mendapatkan makna yang objektif sebagaimana yang dimaksudkan si pengarang.[16]
Dalam aplikasinya pada teks keagamaan, penafsiran atas teks-teks al-Qur’an, misalnya: 1) kita berarti harus mempunyai kemampuan gramatikal bahasa Arab (nahw-sharaf) yang memadai, dan 2) memahami tradisi yang berkembang di tempat dan masa turunnya ayat, sehingga dengan demikian kita dapat benar-benar memahami apa yang dimaksud dan diharapkan oleh teks-teks tersebut. Begitu pula dalam kasus teks-teks sekunder keagamaan, seperti karya-karya al-Syafi’i (767-820 M). Selain memahami karakter bahasa dan istilah-istilah yang biasa digunakan, kita juga harus paham tempat dan tradisi dimana karya-karya tersebut ditulis. Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadid disampaikan di tempat dan tradisi yang berbeda. Selain itu, juga harus memahami kondisi psikologis Syafi’i sendiri, apakah ketika itu menjadi bagian dari kekuasaan, sebagai oposan atau orang yang netral. Kemudian, karya-karya Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, sangat berbeda ketika ia berposisi sebagai bagian dari kekuasaan (menjadi hakim) dan saat menjadi filosof. Tanpa pendekatan-pendekatan tersebut, pemahaman yang salah, menurut Schleiermacher, tidak mungkin terelakkan.

2.    Hermeneutik Hans-Georg Gadamer
Gadamer dengan nama lengkapnya Hans Georg Gadamer adalah seorang filsuf Jerman yang sangat dekat dengan generasi pertama hermeneutika kontemporer, yaitu Heidegger. Secara historis dan beberapa literatur yang dapat dipercaya, Gadamer dalah tokoh filsuf Jerman yang tidak memiliki kepentingan kekuasaan kepada Negara maupun pemerintahan, dan bahkan dia tidak pernah bersentuhan dengan partai politik apapun. Ini sedikit alasan yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih tentang teori hermeneutika Gadamer.
Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.
Dalam pandangan hermeneutika Gadamer, teks bersifat terbuka dan dapat diinterpretasikan oleh siapapun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan dan dilepas, teks menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan si penulis. Karena itu, sebuah teks tidak harus dipahami berdasarkan ide si pengarang melainkan berdasarkan materi yang tertera dalam teks itu sendiri. Bahkan, penulis telah mati dalam pandangan kelompok ini. Karena itu pula, pemahaman atas tradisi si pengarang seperti yang disebutkan dalam hermeneutika objektif, tidak diperlukan lagi. Menurut Gadamer, seseorang tidak perlu melepaskan diri dari tradisinya sendiri untuk kemudian masuk dalam tradisi si penulis dalam upaya menafsirkan teks. Bahkan, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena keluar dari tradisi sendiri berarti mematikan pikiran dan kreativitas. Sebaliknya, justru seseorang harus menafsirkan teks berdasarkan apa yang dimilikinya saat ini (vorhabe), apa yang dilihat (vorsicht) dan apa yang akan diperoleh kemudian (vorgriff).[17] Jelasnya, sebuah teks diinterpretasikan justru berdasarkan pengalaman dan tradisi yang ada pada si penafsir itu sendiri dan bukan berdasarkan tradisi si pengarang, sehingga hermeneutika tidak lagi sekedar mereproduksi ulang wacana yang telah diberikan pengarang melainkan memproduksi wacana baru demi kebutuhan masa kini sesuai dengan subjektifitas penafsir.
   Meski demikian, menurut Sumaryono, Gadamer sebenarnya tidak sepenuhnya menganggap salah pertimbangan-pertimbangan atas tradisi sebelumnya seperti dalam hermeneutika objektif Schleiermacher, meski ia menganggap sebagai negatif atau rendah. Sebab, memang ada beberapa pertimbangan yang dianggap berlaku, yang menentukan realitas historis eksistensi seseorang, seperti bildung, misalnya. Namun, realitas historis masa lalu tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang terpisah dari masa kini melainkan satu kesatuan atau tepatnya sebuah kesinambungan.[18] Bagi Gadamer, jarak antara masa lalu dan masa kini tidak terpisahkan oleh jurang yang menganga melainkan jarak yang penuh dengan kesinambungan tradisi dan kebiasaan yang dengannya semua yang terjadi di masa lalu menampakkan dirinya di masa kini. Inilah yang membentuk kesadaran kita akan realitas historis.[19]
Hermeneutika Gadamer berakar kuat dalam konsepnya tentang sejarah. Menurut Gadamer, manusia tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah. Manusia memilik sejarah, bukan sebaliknya. Eksistensi manusia (dasein) selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita menemukan wujud diri kita telah berada dalam dunia (In-der-Welt-Sein/wujud di dalam dunia) yang tidak kita ciptakan, dan inilah dunia kita. Akal juga mensejarah. Akal tidak dapat membebaskan dirinya dari prapenilaian dan tradisi. Kondisi-kondisi kongkrit ada ketika akal bekerja karena akal tidak bisa lepas dari sejarahnya. Sebelum pengalaman individu, sejarah telah terlebih dahulu wujud sekaligus terlebih dahulu memiliki pengaruh, yang menentukan pengalaman tersebut. Oleh sebab itu, Gadamer menegaskan bukan penilaian-penilaian yang sebenarnya membentuk realitas sejarah dari wujud individu, tetapi justru prapenilaian-prapenilaian (vorurteil).[20]
Dalam pandangan Gadamer, situasi dan kondisi penafsir sekarang (ia mengistilahkannya sebagai situasi hermeneutis/hermeneutical situation) merupakan sebuah prapenilaian yang tidak bisa dihilangkan karena situasi tersebut adalah given. Bagi Gadamer, prapenilaian tidak pernah dapat dipisahkan dari hakikat wujud manusia.
Oleh sebab itu, kondisi penafsir sekarang, bukanlah halangan yang merintangi dalam penafsiran, namun justru merupakan landasan produktif dari semua pemahaman. Dalam pandangan Gadamer, teori penafsiran Schleiermacher akan menjadikan situasional penafsir (orang yang mengetahui) sebagai sebuah persoalan, dan bahkan penafsir akan menafikan situasinya sendiri. Ini sebuah kekeliruan. Bagi Gadamer, situasi sekarang yang merupakan sebuah prapenilaian kita tidaklah memotong dari masa lalu, namun merupakan permulaan yang membuka wawasan kita. Prapenilaian-prapenilaian tersebut adalah kondisi positif yang memungkinkan pemahaman positif.[21]
Gadamer menyatakan sejarah yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk oleh sejarah. Gadamer mengistilahkannya Wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (effective-historical consciousness/ efek-kesadaran sejarah). Jadi, Gadamer tidak memandang sejarah sebagai objek, pasif dan dapat diinvestigasi, seperti pendapat Dilthey. Bagi Gadamer, manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Manusia sudah berada di dalam dunia. Wujud di dunia adalah eksistensi manusia. Oleh sebab itu, dunia tidak dapat diobjektifikasikan.
Metode ilmiah sebagaimana yang dikembangkan sejak periode Pencerahan (enlightenment) keliru karena ingin memisahkan antara manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek.[22] Jadi, efek kesadaran sejarah adalah kondisi yang non-objektifikasi. Sekalipun begitu, kesadaran yang non-objektifikasi selalu mengiringi proses pemahaman. Gadamer menyatakan “a nonobjectifying consciousness always accompanies the process of understanding”.[23] Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia sebenarnya telah ada sebelum manusia mulai memahami. Oleh sebab itu, menurut Gadamer, pemahaman adalah kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Oleh sebab itu, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis manusia. Pemahaman adalah persoalan ontologis.
Gadamer menolak pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menganggap penafsiran sebagai aktifitas para penafsir dan merupakan persoalan metodologis. Schleiermacher menjadikan persoalan hermeneutis sebagai epistemologis karena hermeneutika merupakan seni untuk menghindari kesalah-pahaman. Padahal dalam pandangan Gadamer, kesalah-pahaman mengasumsikan sebelumnya adanya kesepakatan umum (a common accord/agreement/einverstandnis)[24] tentang bahasa yang umum dan wawasan kebudayaan (a common linguistic and cultural horizon).[25]
Gagasan Gadamer tentang pemahaman sebagai persoalan ontologis berasal dari pendapat gurunya yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Gadamer menyatakan karya Heidegger, Being and Time, telah menunjukkan secara meyakinkan bahwa pemahaman merupakan bentuk dasar dari dasein.[26] Bagi Heidegger, pemahaman (verstehen) lebih dari sekedar metode. Sebabnya prarefleksi pemahaman telah wujud terlebih dahulu (pre-reflective understanding). Pra-refleksi pemahaman merupakan bentuk dasar dari Dasein, yang secara harfiah berarti di sana wujud. Pemahaman bukanlah sebuah daya pemahaman, bukan pula aktifitas dari subjek yang sadar, tetapi watak dasar dasein, yang selalu ditafsirkan, selalu terbuka kepada penafsiran dan masa depan.[27]
Dalam pandangan Heidegger, ilmu pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari wujud di dunia, subjek tidak dapat dipisahkan dari objek, dasein, eksistensi manusia, ada di sana dan karena wujudnya di dalam dunia. Dunia bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi memang eksistensi manusia ada di dunia.[28]
Hermeneutika dalam pandangan Gadamer bukanlah persoalan subjek yang berusaha untuk memahami objek yang eksis independen dari kita. Sebabnya, kita telah dan selalu diakibatkan oleh sejarah. Gadamer menyatakan: “Jika kita berusaha untuk memahami fenomena sejarah dari jarak historis yang merupakan karakteristik dari situasi hermeneutis, kita telah dan selalu diakibatkan oleh sejarah.” (If we are trying to understand a historical phenomenon from the historical distance which is characteristic of our hermeneutic situation, we are always already affected by history).[29] Keterkaitan kita dengan teks bukan saja semata-mata kita sebagai makhluk sejarah berada dalam situasi kebudayaan kita, tetapi keterkaitan merupakan sebuah keniscayaan. Prapenilaian kita akan selalu terikut dalam menafsirkan teks. Tidak ada posisi netral dalam interaksi penafsir dengan tradisi.[30] Disebabkan kesadaran diakibatkan oleh sejarah selalu mengiringi penafsiran, maka Gadamer berpendapat makna prapenilaian perlu direhabilitasi. Bagi Gadamer, prapenilaian bukanlah sesuatu yang selalunya negatif seperti yang biasa dipahami. Gadamer menyatakan: “It is not so much our judgments as our prejudices that constitute our being…Prejudices are not necessarily unjustified and erroneous, so that they inevitably distort truth. In fact, the historicity of our existence entails that prejudices, in the literal sense of the word, constitute the initial directedness of our whole ability to experience. Prejudices are biases of our openness to the world. They are simply conditions whereby we experience something.”[31]
Menurut Gadamer, konsep dasein akan menafikan penafsiran otonom dan objektif (autonomous and objective interpretation). Ambisi ilmu-ilmu sosial untuk menjadi objektif, sebenarnya telah didahului oleh pemahaman sebelumnya yang berasal dari tradisi sejarah.[32] Jadi, Gadamer menyangkal keabsahan konsep objektifitas bagi kemanusiaan yang didasarkan kepada metode, dan disejajarkan dengan ilmu-ilmu alam. Pendapat ini mendorong Gadamer untuk menyalahkan Schleiermacher dan Dilthey karena masih terjerat dengan asumsi-asumsi objektif ilmu-ilmu alam. Schleiermacher dan Dilthey ingin mendapatkan sebuah metode yang berusaha untuk menghapus jarak sejarah, dengan asumsi bahwa kondisi manusia menjadi berbeda disebabkan kondisinya oleh sejarah. Menurut Gadamer, versi pemahaman psikologis tersebut dibangun atas kesalahapahaman, yaitu: pemahaman (sejarah) menuntut kita untuk keluar dari kaca mata kita dan masuk ke dalam kaca mata orang lain untuk kembali mengalami niat subjektif para pengarang, seakan-akan mereka adalah entitas-entitas tetap. Padahal, menurut Gadamer, sebelum kita melibatkan diri kita dengan niat subjektif mereka, kita terlebih dahulu terlibat dengan apa yang mereka katakan. Gadamer menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Menggunakan metode untuk menetapkan kebenaran dalam niat orang yang lain bukan menggiring kepada kebenaran, tetapi semakin menjauhkan. Sebabnya, metode tersebut mengharuskan kita untuk menjadikan pihak lain sebagai objek dan mengabaikan keterlibatan dengan klaim kebenaran yang mereka buat.[33]
Bagi Gadamer, pemahaman bukanlah rekonstruksi seperti yang dipahami oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi mediasi (understanding is not reconstruction but mediation). Kita adalah penyampai masa lalu kepada masa sekarang. Pemahaman pada esensinya tetap merupakan sebuah mediasi atau penerjemahan makna masa lalu ke dalam situasi sekarang. Jadi, Gadamer menekankan secara khusus bukan kepada aplikasi metode oleh subjek, tetapi kepada kesinambungan sejarah yang merupakan medium yang melingkupi setiap tindakan subjek dan objek-objek yang ia pahami. Pemahaman merupakan sebuah peristiwa, sebuah gerak sejarah tersendiri yang baik penerjemah ataupun teks tidak dapat dipikir sebagai bagian-bagian yang otonomi. Inti pemahaman bukanlah dipikirkan kebanyakannya sebagai tindakan subjektifis, tetapi sebagai masuknya ke dalam peristiwa transmisi yang masa lalu dan masa sekarang dimediasikan secara konstan.[34]
Gadamer memaknai pemahaman sebagai saling-memahami. Jadi, pemahaman merupakan upaya bersama. Pemahaman selalu sebagai upaya untuk mengerti tentang sesuatu. (Understanding means understanding one another. Understanding first of all having come to a mutual understanding. Understanding is always coming to an understanding about something). Konsep saling-memahami terabaikan dalam pemikiran Schleiermacher. Dalam pandangan Gadamer, konsep pemahaman dalam pemikiran Schleiermacher adalah pemahaman seseorang terhadap yang lain. Bagi Gadamer, konsep pemahaman seperti ini adalah konsep satu arah (unilateral).[35]
Gadamer juga tidak sependapat dengan Schleiermacher yang memahami hermeneutic circle (lingkaran penafsiran) sebagai persoalan metodologis. Dalam pandangan Gadamer, hermeneutic circle adalah persoalan ontologis. Bagi Gadamer, teks itu bukanlah sebagai sesuatu yang terletak di depan kita seolah-olah ia adalah objek dalam sejarah yang kita tidak memiliki hubungan intrinsik. Dalam pandangan Gadamer, itu adalah distorsi kepada watak dasar dari hermeneutic circle yang mencakup orang yang mengetahui dan apa yang yang diketahui. Gadamer meminjam konsep Heidegger tentang dunia bukan saja merujuk kepada sebuah situasi yang yang terbuat dari susunan objek-objek empiris di depan seorang subjek, tetapi fakta bahwa manusia selalu menemukan dirinya telah terkait dengan yang lain. Kita menemukan diri kita berada dalam dunia yang tidak kita ciptakan, dan inilah dunia kita.[36] Jadi, menurut Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia, namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga tidak terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari lingkaran tersebut.[37] Gadamer juga menegaskan penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsiran merupakan penafsiran ulang, memahami lagi teks secara baru dan makna baru juga.[38]
Dari pemaparan ringkas di atas, dapat disimpulkan pemikiran Gadamer yang menganggap pemahaman sebagai persoalan ontologis telah menggiringnya untuk merombak beberapa konsep seperti fungsi kondisi sekarang penafsir (situasi hermeneutis), konsep masa lalu (kesadaran yang disebabkan oleh sejarah merupakan sumber kemungkinan-kemungkinan makna dibanding sebagai objek investigasi yang pasif), prapenilaian yang bermakna positif, selain mengandung makna negatif, makna terletak bukan dalam niat pengarang, namun berada di luar subjek. Gadamer juga menjadikan hermeneutika sebagai dasar kepada filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya. Bukan seperti Dilthey, yang ingin menjadikan hermeneutika sebagai fondasi kepada geisteswissenschaften. Ringkasnya, hermeneutika Gadamer merupakan jawaban terhadap pertanyaan How understanding is possible?.
Perdebatan hermeneutis selanjutnya adalah antara Habermas dan Gadamer, Habermas mengkritik Truth and Method (1960) dalam On the Logic of the Social Sciences (1967). Gadamer menjawab kritikan Habermas dalam sebuah essai berjudul Rhetoric, Hermeneutics, and the Critique of Ideology: Metacritical Comments on Truth and Method (1967). Habermas menanggapi lagi tulisan Gadamer tersebut dalam artikel yang berjudul The Hermeneutic Claim to Universality (1970). Gadamer menjawab lagi kritikan tersebut dalam artikel yang berjudul Reply to My Critics (1971).[39]
Habermas dalam banyak hal setuju dengan Gadamer dan menjadikan hermeneutika Gadamer sebagai sub sistem kepada gagasan yang lebih mendasar, yaitu Critical Theory (Teori Kritis). Habermas menyetujui gagasan Gadamer bahwa bahasa adalah sentral dari eksistensi manusia. Metodologi yang mengklaim objektif adalah ilusi dan konsep dunia eksternal selalu terkandung dan tidak dapat dipisahkan dari tradisi. Habermas juga menyetujui watak dasar dari bahasa adalah dialogis. Namun, dalam hal ini, Habermas mengembangkan gagasan tersebut dengan lebih kritis. Bagi Habermas, pendapat Gadamer tentang kemungkinan adanya konsensus yang asli adalah naif.
Menurut Habermas, konsensus yang asli mengandaikan situasi pembicaraan yang ideal (the ideal speech situation). Konsensus asli didasarkan kepada ide semua pihak harus memiliki kesamaan, kesempatan dialogis yang menyumbang kepadanya.[40] Namun, kondisi tersebut tidak mudah untuk diraih. Dalam pandangan Habermas, Gadamer terlalu menjadikan tradisi sebagai suatu otoritas. Padahal, tradisi bukanlah suatu kondisi yang harus ada, tetapi merupakan proses sejarah yang terpecah dengan kekuatan-kekuatan dominasi yang mendistorsi dialog. Karena kekuatan-kekuatan ini mempengaruhi tradisi melalui jalan ekstra-dialog. Oleh sebab itu, Habermas berpendapat, sosiolog perlu langkah-langkah konseptual untuk melepaskan dirinya dari tradisi, supaya menjadi terang.[41]
Menurut Habermas, kekuatan refleksi mampu untuk menelusuri asal mula pemahaman kita terhadap sesuatu di dalam tradisi dan mengambil sikap yang tidak dogmatis. Refleksi mampu meletakkan kita dalam hubungan yang berbeda dengan sesuatu syang kita pahami sebelumnya dangan cara yang otomatis. Habermas menolak konsep Gadamer tentang prapenilaian yang berfungsi sebagai bukti dalam validitas penafsiran. Bagi Habermas, Gadamer tidak dialogis karena tidak memperkenankan refleksi utuk memecahkan ilmu pengetahuan yang telah ditanamkan oleh tradisi. Bagi Habermas, kekuatan refleksi hilang terabaikan dalam pemikiran Gadamer.[42]
Selain mengabaikan kekuatan refleksi, Habermas juga menyatakan bahwa bahasa bukan saja berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga kekuatan dan dominasi. Dalam pandangan Habermas, Gadamer telah mengabsolutkan bahasa, dan menjadikannya satu-satunya meta-institusi dan mangabaikan statusnya sebagai kekuatan ideologis yang menetralkan hubungan ketikadilan sosial yang sistemik. Ringkasnya, bagi Habermas, bahasa berfungsi melegitimasikan dominasi kelas.[43] Selain kekuatan yang membentuk bahasa, Habermas juga menyatakan sistem-sistem buruh juga mempengaruhi bahasa dari luar. Jadi, pandangan Gadamer, kesadaran yang terartikulasikan secara bahasa menentukan wujud materi kehidupan-praktis (linguistically articulated consciousness determines the material being of life-practice), adalah naif. Bagi Habermas, yang lebih menentukan kehidupan manusia adalah konteks aksi sosial yang objektif yang tidak dapat direduksi kepada dimensi intersubjektifitas yang dimaksud dan makna yang ditransmisikan secara simbolis. (…the objective context of social action is not reducible to the dimension of intersubjectively intended and symbolically transmitted meaning).[44]
Ringkasnya, bagi Habermas, Realitas lebih menentukan dibanding bahasa. Gadamer versus Eric. D. Hirsch (1928) menegaskan tujuan penafsiran adalah untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Tujuan tersebut memungkinkan untuk bisa diraih. Hirsch mengemukakan 5 argumentasi untuk menunjukkan mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang memang bisa diketahui. Pertama, argumentasi praktis atau logis (the practical or logical argument). Jika seseorang ingin mengklaim keabsahan penafsirannya, maka dia harus mengaitkannya dengan standart yang diterima secara umum. Kedua, argumentasi moral tradisional (the traditional moral argument). Manusia seharusnya berusaha untuk meluaskan wawasan mereka. Penafsiran yang bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang adalah perluasan wawasan kepada seseorang. Oleh sebab itu, para penafsir seharusnya bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Ketiga, argumentasi moral atau argumentasi dari etika bahasa (the moral argument or the argument from the ethics of language). Manusia seharusnya memperlakukan orang lain sebagai tujuan (ends) bukan sebagai cara (means). Teks-teks yang merupakan ungkapan kemanusian manusia, seharusnya juga diperlakukan sebagai tujuan bukan semata-mata cara. Ketika seorang penafsir bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang, penafsir tersebut sedang memperlakukan teks karya pengarang tersebut sebagai tujuan. Oleh sebab itu, penafsir tersebut seharusnya mengenal kembali makna yang dimaksud oleh pengarang. Keempat, argumentasi dari peraturan emas (the argument from the golden rule). Manusia seharusnya hidup sesuai dengan prinsip: berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin mereka berbuat kepadamu. Seorang penafsir akan lebih menghendaki supaya orang lain menafsirkan teksnya dengan tujuan mengenal kembali makna yang dimaksudkannya. Oleh sebab itu, penafsir tersebut seharusnya bertujuan untuk mengenal kembali makna yang dimaksud oleh orang lain. Kelima, argumentasi dari karya (the argument from vocation). Penafsiran merupakan sebuah karya. Karya tersebut mengandung kewajiban-kewajiban moral tertentu. Di antara kewajiban-kewajiban tersebut adalah kewajiban untuk mengenal kembali makna yang dimaksudkan oleh pengarang. Oleh sebab itu, seseorang yang melakukan penafsiran sebagai sebuah karya seharusnya bertujuan seperti itu.
Gadamer menolak pendapat Hirsch. Bagi Gadamer, fungsi primer makna bukanlah merujuk kepada akal pengarang, tetapi kepada pokok persoalan (sache) yang dibawa oleh bahasa. Jadi kesatuan bahasa dan pokok persoalan adalah tempat bersemayamnya kebenaran.[45] Dalam pandangan Gadamer, makna sebuah teks historis tidaklah diberikan dan ditetapkan oleh pengarang orisinal, atau konteks dimana teks tersebut muncul pertama kalinya. Makna sebuah teks adalah dan sebagaimana awalnya, merupakan sebuah pesta yang bergerak. Maksud sebuah teks adalah hasil dari makna-makna yang bertumpuk yang dicapai oleh teks tersebut dalam penafsiran-penafsirannya yang historis dan beragam. Tidak ada makna orisinal yang murni kepada teks. Setiap pemahaman terhadap teks melibatkan proyeksi prapenilaian-prapenilaian dari wawasan historis yang particular, baik sejarawan menyadarinya ataupun tidak. Prapenilaian-prapenilaian ini dimainkan untuk melawan objek dan mediasi antara keduanya menghasilkan akumulasi makna yang mengendap. Inilah selalu yang merupakan prinsip, tidak sempurna, dan wawasan baru tersebut secara retrospektif akan membuka aspek-aspek baru dalam makna yang bersemayam dalam teks historis.

3.    Penolakan Hermeneutika Gadamer dalam Studi Al-Qur’an
Apa yang datangnya dari Barat belum tentu baik, memang ungkapan yang perlu dibuang cepat dan jauh-jauh oleh seseorang pencari ilmu dan kebenaran, khususnya oleh para sarjana Muslim. Karena tidak selamanya yang datangnya dari dunia Barat (non-Muslim) selalu bertentangan dengan tradisi keislaman. Kemajuan teknologi dan informatika yang berkembang saat ini telah mampu menjadi bukti bahwa yang datang dari dunia Barat sangat bermanfaat dan membantu perkembangan dunia Islam. Sejarah juga telah mencatat bagaimana hebatnya masa Dinasti Abbasiyah yang mampu menaklukan dunia berabad-abad lamanya, adalah karena adanya kesadaran para khalifah Dinasti Abbasiyah untuk melakukan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah melalui penerjemaham-penerjemahan karya-karya besar dari para filusuf Yunani, semisal Aristoteles, Plato, dan para filusuf besar lainnya.[46] Apakah kehebatan sejarah ini belum dapat menjadi bukti betapa petingnya mengkaji dan menelaah kembali ilmu-ilmu yang datangnya dari dunia Barat.
Namun demikian, dalam menerima apa yang datangnya dari dunia Barat perlu adanya kehati-hatian, perlu proses pengkajian yang mendalam dan panjang, dan perlu juga memahami motivasi-motivasi apa yang terkandung didalamnya. Sebagaimana seperti dalam menerima teori hermeneutika Hans Georg Gadamer untuk menafsirkan teks-teks al-Qur’an. Meskipun pencetusnya sendiri, Hans Georg Gadamer, pada awalnya tidak mereferensikan secara eksplisit konsep teori hermeneutikanya untuk dimanfaatkan menafsirkan teks-teks al-Qur’an. Sebagaimana dijelaskan di awal penulisan makalah ini, bahwa awal mula penggunaan konsep hermeneutika adalah dimanfaatkan untuk menafsirkan teks-teks Bible. Hanya kalangan para penafsir Muslim kontemporer sendirilah yang sangat antusias untuk memanfaatkan konsep hermeneutika sebagai sarana studi al-Qur’an.
Bible bukan al-Qur’an, ini jelas dan tidak terbantahkan oleh siapapun. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril, sedangkan Bible lebih merupakan sebuah hasil dari kreativitas manusia. Meskipun keduanya sama-sama teks-teks suci yang masih perlu dan terbuka untuk ditafsirkan. Namun, perbedaan eksistensi Bible dan al-Qur’an ini seharusnya yang perlu diperhatikan dalam menggunakan ilmu hermeneutika untuk menafsirkan teks al-Qur’an. Sehingga penggunaan ilmu hermeneutika dalam penafsiran teks al-Qur’an masih dipertanyakan keabsahannya. Walaupun secara substansinya, para cendekiawan Muslim yang antusias dengan ilmu hermeneutika, menyamakan antara ilmu hermeneutika dengan ilmu tafsir karena objek kajiannya sama-sama mengungkap makna teks. Namun hermeneutika tetap hermeneutika yang tidak dapat digunakan untuk menafsirkan teks al-Qur’an, karena hermeneutika memiliki metode sendiri. Begitu juga sebaliknya ilmu tafsir juga berdiri dengan metodenya sendiri yang telah teruji keguanaannya dalm menafsirkan teks al-Qur’an dari awal perkembangan Islam sampai dengan saat sekarang ini.
Ada dua alasan yang mendorong penulis untuk tidak sependapat dengan para cendekiawan Muslim yang memanfaatkan ilmu hermeneutika secara umum untuk menafsirkan teks al-Qur’an.
Pertama, hermeneutika lahir dan berkembang dari suatu peradaban dan pandangan hidup masyarakat penemunya. Setiap ilmu, konsep atau teori termasuk hermeneutika, pasti merupakan produk dari masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup sendiri. Pendapat ini dianut oleh sebagian besar mufassir. Beberapa cendekiawan, seperti Alparslam, Hamid Fahmy, Anis Malik Toha, dan Wan Moh Nor sejalan dengan faham di atas. Alparslan (salah seorang cendekiawan Turki) berpendapat, “Pandangan hidup setiap peradaban merupakan kumpulan dari konsep-konsep yang dalam konteks keilmuan berkembang menjadi tradisi ilmiah (scientifik tradition)”.[47] Tradisi ilmiah pada gilirannya menghasilkan berbagai disiplin ilmu, seperti yang kita lihat sekarang, termasuk teori atau konsep hermeneutika. Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, kosmologi dan metafisika. Hal-hal inilah yang menjadikan ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial), termasuk hermeneutika tidak netral.
Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat salah seorang pakar hermeneutika Werner G.Jeanrond. Ada tiga milleu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu metode, konsep atau teori interpretasi. Pertama milleu masyarakat yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani. Kedua milleu masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi masalah teks kitab suci mereka dan berupaya untuk mencari model yang cocok untuk interpretasi. Ketiga masyarakat Eropa di zaman Enlightenment yang berusaha lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan membawa Hermeneutika keluar dari konteks keagamaan.[48]
Selain itu, epistemologi dalam Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Dalam Islam sumber inspirasi tidak hanya akal, karena akal manusia mempunyai keterbatasan. Al-Qur’an banyak menyebutkan peristiwa yang tidak bisa diterima oleh akal. Dan hal ini tidak pernah terlintas dalam pemikiran para pakar hermeneutika. Misalnya, cerita kapal Nabi Nuh, Nabi Ibrahim yang tidak hangus dibakar, Nabi Musa yang dapat membelah laut, isra dan mi’rajnya Nabi Muhammad SAW dan banyak lagi. Peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah khayalan manusia akan tetapi merupakan khabar shadiq (benar dan tidak diragukan lagi).
Selain itu pula jika ilmu pengetahuan berdasarkan pada kepentingan individu, baik bersifat politik, ekonomis maupun idiologi, maka pengetahuan itu tidak dapat diaplikasikan untuk kepentingan individu lain. Apalah lagi diaplikasikan untuk menjelaskan makna-makna ajaran dalam al-Qur’an. Memahami al-Qur’an dengan metode Habermas misalnya, justru mereduksi ayat-ayat al-Qur’an ke dalam makna-makna individu. Dalam Islam wahyu (revelation) menempati posisi penting. Rasio an sich sebagai sumber inspirasi seperti pendapatnya Habermas berbeda dengan Islam yang menempatkan wahyu dan rasio sekaligus yang berfungsi sebagai sumber dan penjelas termasuk juga ilmu pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan epistemologi hermeneutika Barat dan Islam.[49]
Kedua, hermeneutika adalah pengetahuan yang membahas penafsiran dari suatu teks. Teks tersebut meliputi berbagai teks yang merupakan produk ekspresi manusia. Menurut Komaruddin (1996:126) hermeneutika memiliki banyak persamaan dengan ilmu tafsir yang sudah dikenal sejak abad pertama hijriyah.[50] Walaupun hermeneutika lahir dari masyarakat tertentu yang berbeda dengan masyarakat yang memunculkan ilmu tafsir, akan tetapi sebagai ilmu ia bisa digunakan, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu. Suatu peradaban bisa saja mengimport suatu konsep, tentunya dengan proses modifikasi konseptual atau apa yang disebut borrowing proses. Jika modifikasi konsep ini melibatkan konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigma Shift) tidak dapat dielakkan. Selain itu juga, implementasi hermeneutika dalam Islam berbeda dengan hermeneutika dalam dunia Kristen. Implementasi hermeneutika dalam dunia Kristen digunakan untuk mencari orisinialitas kitab suci mereka. Mereka menemukan teks kitab suci yang sangat beragam, sehingga mereka perlu mencari mana dari semua itu yang asli dan paling benar. Sedangkan penggunaan hermeneutika dalam dunia keilmuwan Islam digunakan bukan untuk mencari keotentikan teks al- Qur’an, akan tetapi untuk mencari penafsiran yang paling mendekati kebenaran, dan kebenaran dari suatu tafsir mutlak hanya Allah yang mengetahui.
Demikian dua alasan penulis untuk menolak ilmu hermeneutika secara umum untuk menafsirkan teks al-Qur’an. Adapun secara khususnya bantahan penulis menolak hermeneutika Hans Georg Gadamer adalah karena alasan-alasan berikut.
Pertama, hermeneutika Gadamer mengimplikasikan bahwa penafsiran akan selalu terbuka karena wawasan pemahaman tidaklah tetap, tetapi berubah untuk meraih persamaan paham. Dalam pandangan Gadamer, kesamaan pendapat dan pemahaman bermakna ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya tidak tepat karena meleburnya wawasan (the fusion of horizons) tidak identik dengan kebenaran. Penafsiran terhadap al-Qur’an yang dicampurkan dengan penafsiran tradisi (kesadaran sosial) yang akan menghasilkan misalnya, berbagai warna Islam, seperti Islam Kejawen, Islam Indonesia, Islam Demokrasi, Islam Moderat, tidaklah sesuai dengan pandangan alam Islam. (Islamic worldview).
Kedua, hermeneutika Gadamer mensyaratkan keharusan relatifitas tafsir. Maka itu, tafsir yang sudah dihasilkan oleh para mufassir terkemuka harus selalu direvisi. Dampak hermeneutika Gadamer akan menggugat hal-hal yang sudah mapan dalam penafsiran al-Qur’an. Dalam sejarah ilmu tafsir, mufassir al-Qur’an tidak selamanya terpengaruh dengan tradisi, latar-belakang sosial dan budayanya. Fakta bahwa mufassir dari zaman ke zaman, lintas waktu dan ruang, namun tetap memiliki kesamaan pendapat, menunjukkan refleksi mufassir menembus relatifitas penafsiran.
Oleh karena itu, hermeneutika Hans Georg Gadamer dapat dikatakan tidaklah sesuai dengan konsep ilmu tafsir dalam Islam. Konsep ilmu tafsir dalam tradisi Islam bersumber dari wahyu yang didukung oleh akal dan panca-indera. Wahyu dalam Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Nama Islam, keimanannya, amalannya, ibadahnya dan doktrinnya telah ada dalam wahyu seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu, hermeneutika Gadamer yang merelatifkan tafsir al-Qur’an, tidaklah sesuai dengan konsep ajaran Islam.
Meskipun secara umum penulis menolak penggunaan ilmu hermeneutika dalam menafsirkan teks al-Qur’an, namun ada harapan penulis untuk menjadikan ilmu hermeneutika ini sebagai bahan perbandingan dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena dalam perkembangan ilmu tafsir sendiri, juga muncul berbagai model dan pendekatan tafsir yang hampir mendekati sama dengan metode hermeneutika, seperti: tafsir bi al-ma’tsur yang mendekati sama dengan pendekatan hermeneutika objektik dan tafsir bi al-ra’yi yang mendekati sama dengan pendekatan hermeneutika sebjektif. Selain itu pula ilmu hermeneutika sebaiknya ditempatkan sebagai second opinion dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Artinya, ilmu hermeneutika sebaiknya ditempatkan sebagai pelengkap dari metode-metode ilmu tafsir yang telah ada, bukan sebagai metode penafsiran baru yang ingin merombak tatanan keilmuan yang telah mapan dalam khazanah kajian keislaman.

C.      Kesimpulan
Metode-metode hermeneutika di Barat, tanpa bermaksud untuk apologi, sebenarnya ada kesesuaian dan tidak berbeda jauh dengan ilmu tafsir yang berkembang dalam tradisi pemikiran Islam. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh para antusiasme ilmu hermeneutika, jika ingin menggunakannya sebagai metode menafsirkan al-Qur’an.
Pertama, Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan firman Allah SWT. Padanya terdapat petunjuk dan hidayah bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an baik dari segi bahasa maupun isinya mengandung mukjzat, seluruhnya hak dan setiap muslim harus menerimanya dengan tanpa keraguan. Jika kita menerima hermeneutika sebagai instrumen untuk menafsirkan al-Qur’an, maka keyakinan tersebut akan runtuh. Sebagai contoh, jika kita menerima teori Critical Hermeneutika-nya Habermas kita dituntut untuk bersikap kritis dan curiga pada setiap teks dan penafsiran. Sikap ini jelas-jelas tidak bisa diterapkan untuk pencipta al-Qur’an dan para mufassir yang diyakini mempunyai keikhlasan yang luar biasa.
Kedua, jika kita menerima hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an termasuk pemikiran Gadamer, maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al-Qur’an. Dia berpendapat, bahwa tidak ada kebenaran yang objektif, sebab jika ada ia harus terukur oleh ruang dan waktu. Dalam pandangannya rasio pemahaman apapun atas sebuah riset pasti mengandung sebuah prejudice. Baginya kebenaran hanyalah merupakan khayalan dan rekayasa, bukan merupakan penemuan.





























DAFTAR PUSTAKA


Acikgence, Alparslan, Islamic Science,Toward Definition, Kualalumpur: ISTAC,1996

Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Beirut: Dar al-Fikr, 1976

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010

Bertens, K., Filsafat Barat Abad XX, Jakarta: Gramedia, 1981

Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics, London: Routlege & Kegan Paul, 1980

Crasnow, Ellman, “Hermeneutics” dalam A Dictionary of Modern Critical Terms, Roger Flower, New York: Routledge and Paul Kegan, 1987

Eliade, Mircea, The Encyclopedia of Religion, New York: Macmillan, 1993

Friedrich, D. E. Schleiermacher, The Hermeneutic: Outline of the 1819 Lectures, New York: Sunny, 1990

Gadamer, Hans-Georg, Philosophical Hermeneutics, Penj. David E. Linge, California: University of California Press, 1976

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Jakarta: Paramadina, 1996

How, Alan, The Habermas-Gadamer Debate and the Nature of the Social, Avebury: Aldershot, 1995

Leidecker, Kurt F., “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, New York: Adams & Co, 1976

Moran, Dermot, Introduction to Phenomenology, London: Routledge, 2000

Nasir,  Malki Ahmad, Hermeutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas” dalam Jurnal Islamia Thn. I No.I Jakarta: Khairul Bayan, 2004

Nurkholis, Ahmad, Memoar Cintaku: Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, Jakarta: LKiS, 2004
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992

Sumaryono, Hermeneutik, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Syirbasyi, Ahmad, Qishat al Tafsir, Kairo: Dar al-Qalam, 1962

Tatar, Burhanettin, Interpretation and the Problem of the Intention of the Author: Hans-Georg Gadamer vs E.D. Hirsch, Washington D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 1998

Weinsheimer, Joel C., Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, New Haven: Yale University, 1985

Werner, G Jeanrond, Theological Hermeneutic, Development and Significantce, Macmillan: London, 1991

Zaid, Nasr Hamid Abu, Isykaliyat al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah, Kairo: al-Markaz al-Tsaqafi, tt




[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 75
[2] Ahmad Nurkholis, Memoar Cintaku: Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, (Jakarta: LKiS, 2004), hlm. 205
[3] M. Quraish Shihab, Op.Cit, hlm. 72
[4] Lihat: Ahmad Syirbasyi, Qishat al Tafsir, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962)
[5] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 248
[6] Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics” dalam Dagobert Russel (ed), Dictionary of Philosophy, (New York: Adams & Co, 1976), hlm. 126
[7] Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, (New York: Macmillan, 1993), hlm. 279
[8] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 125
[9] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 225
[10] Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm. 15
[11] D. E. Schleiermacher Friedrich, The Hermeneutic: Outline of the 1819 Lectures, (New York: Sunny, 1990), hlm. 93
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 9-10
[13] Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London: Routlege & Kegan Paul, 1980), hlm. 29.
[14] Ibid, hlm.14
[15] Nasr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Ta’wil wa Aliyat al-Qira’ah, (Kairo: al-Markaz al-Tsaqafi, tt), hlm. 12-13
[16] K. Bertens, Op.Cit., hlm. 230.
[17] Sumaryono, Hermeneutik, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 77
[18] Ibid
[19] Nasr Hamid Abu Zaid, Op.Cit., hlm. 38
[20] Gadamer menyatakan: “In truth history does not belong to us; but we belong to it. Long before we understand ourselves through the process of self-examination, we understand ourselves in a self-evident way in the family, society and state in which we live…. The self-awareness of the individual is only aflic kering in the closed circuits of historical life. For this reason, the rejudices of the individual, far more than his judgements, constitute the historical reality of his being.” Joel C. Weinsheimer, Gadamer’s Hermeneutics: A Reading of Truth and Method, (New Haven: Yale University, 1985), hlm. 169
[21] Hans-Georg Gadamer, Philosophical Hermeneutics, Penj. David E. Linge (California: University of California Press, 1976), hlm. xiv-xv.
[22] Dermot Moran, Introduction to Phenomenology, (London: Routledge, 2000), hlm. 266
[23] Joel C. Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 32
[24] Hans-Georg Gadamer, Op.Cit., hlm. 7
[25] Burhanettin Tatar, Interpretation and the Problem of the Intention of the Author: Hans-Georg Gadamer vs E.D. Hirsch, (Washington D.C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 1998), hlm. 7
[26] Gadamer menyatakan: “Heidegger’s temporal analytics of Dasein has, I think, shown convincingly that understanding is not just one of the various possible behaviours of the subject but the mode of Being of Dasein itself.” (Die Seinsweise des Daseins selber). Dikutip dari Dermot Moran, Op.Cit., hlm. 258
[27] Joel C. Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 162-63
[28] Ibid, hlm. 161
[29] Dermot Moran, Op.Cit., hlm. 279
[30] Ibid
[31] Ibid, hlm. 278
[32] Alan How, The Habermas-Gadamer Debate and the Nature of the Social, (Avebury: Aldershot, 1995), hlm. 9
[33] Ibid, hlm. 43
[34] Hans-Georg Gadamer, Op.Cit., hlm. xvi
[35] Joel C. Weinsheimer, Op.Cit., hlm. 137
[36] Alan How, Op.Cit., hlm. 45
[37] Ibid, hlm. 47
[38] Ellman Crasnow, Hermeneutics dalam A Dictionary of Modern Critical Terms, Roger Flower, (New York: Routledge and Paul Kegan, 1987), hlm. 110
[39] Alan How, Op.Cit., hlm. 120
[40] Ibid, hlm. 134-135
[41] Ibid, hlm. 139
[42] Ibid, hlm. 143-144
[43] Habermas menyatakan: “…clearly this meta-institution of language as tradition is dependent in turn on social processes that cannot be reduced to normative relationships. Language is also the medium of domination and social power. It serves to legitimate relationships power of organized force. Insofar as legitimations do not articulate the power relationships whose institutionalisation they make possible, insofar as that relationship is merely manifested in the legitimations, language is also ideological In that case it is not so much a question of deception in language as of deception with language as such.” Dikutip dari Alan How, Op.Cit., hlm. 145
[44] Ibid, hlm. 147
[45] Burhanettin Tatar, Op.Cit., hlm. 1
[46] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 144-145
[47] Alparslan Acikgence, Islamic Science,Toward Definition, (Kualalumpur: ISTAC,1996), hlm. 29
[48] G Jeanrond Werner, Theological Hermeneutic, Development and Significantce, (Macmillan: London, 1991), hlm. 12-13
[49] Malki Ahmad Nasir,  Hermeutika Kritis (Studi Kritis atas Pemikiran Habermas dalam Jurnal Islamia Thn. I No.I (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm. 36
[50] Komaruddin Hidayat, Op.Cit., hlm. 126