“Kesultanan Demak atau
banyak orang menyebutnya sebagai kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa adalah
sebuah kerajaan “khayalan” yang tidak akan pernah dapat diketemukan dimana
letak bahkan bukti keberadaannya”
Dimana letak keberadaan
Kesultanan Demak memang tidak akan habis-habisnya untuk diperbincangan sejak
puluhan bahkan ratusan tahun silam, tidak hanya dari kalangan ilmuwan,
mahasiswa, bahkan rakyat pinggiran-pun juga ikut memeriahkannya namun pada
akhirnya perdebatan panjanglah yang dihasilkan. Semua punya bukti, semua punya
cerita, dan semua punya alasan-alasan untuk mempertahankan kebenaran
pendapatnya. Sebagian beranggapan pusat kekuasaan Kesultanan Demak berada di
sekitar alun-alun Kota Demak namun sebagian yang lain bersikukuh berada di luar
Kota Demak, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi berpendapat bahwa Kesultanan
Demak tidak berada di Demak namun berada di luar daerah Demak. Sungguh menjadi
sebuah misteri, Kesultanan Islam Pertama di Pulau Jawa yang menjadi salah satu
kebanggaan wong Demak tidak dapat diketemukan. Sungguh mengherankan juga,
jikalau Kesultanan yang dahulu pernah menjadi pusat kekuatan Islam terbesar di
Nusantara pada abad XV, bahkan konon cerita pengaruhnya melebihi kekuasaan
Kerajaan Majapahit maupun Sriwijaya pada zamannya, tidak dapat ditunjukan
dimana letak keberadaanya.
Keheranan inilah yang kemudian
menjadikan batin penulis terus bertanya-tanya, mungkinkah Kesultanan yang telah
lama tersohor kemasyhurannya tidak dapat ditunjukan dimana letak keberadaannya.
Keheranan penulis memang cukup beralasan, saat ketika penulis mencoba membolak-balik
kepustakaan yang dimilikinya dengan harapan akan mendapatkan jawaban yang
diharapkan, namun ternyata mencari letak keberadaan Kesultanan Demak tidaklah
semudah membalikan telapak tangan, karena tidak ada satupun dari sekian buku
yang penulis baca ada yang dapat menunjukannya. Begitu juga ketika penulis mencoba
melakukan browsing di situs-situs internet malahan kekecewaan yang
didapatkanya karena tidak ada satupun tulisan yang dapat mengabarkannya. Puncaknya
ketika penulis mencoba menelusuri cerita demi cerita yang berkembang di
masyarakat (local hystorie), dengan bertanya kepada para sesepuh di
sekitar kota Demak dengan harapan lebih mudah untuk menemukannya, malahan
kebingungan yang penulis rasakan karena kesimpangsiuran cerita-cerita yang
diberikan. Bagaikan mencari jarum yang jatuh dalam jerami, begitulah ungkapan
yang tepat untuk mengkiaskan usaha penulis dalam mencari letak keberadaan
Kesultanan Demak.
Sulit memang rasanya, tetapi
hasrat yang terpendam dan terus bertanya-tanya tidak dapat begitu saja
dipadamkan. Mustahil ada asap tanpa ada api, tidak mungkin ada cerita tanpa ada
peristiwa yang melatarbelakanginya. Walaupun penulis juga menyadari akan
mustahil pula menemukan sesuatu yang telah lama terkubur oleh intrik-intrik
politik dan keserakahan duniawi demi kepentingan perut semata, namun demi
hasrat penulis untuk menyibak tabir misteri keberadaan Kesultanan Demak yang
telah mengkristal maka selagi masih ada kemauan penulis yakin kemustahilan akan
berubah menjadi sebuah kenyataan, kuncinya adalah bekerja secara cermat,
teliti, sabar dan bertawakal kepada Allah swt. Semangat demikianlah kemudian
yang terus memotivasi penulis untuk melakukan jihad ilmiah dalam meraih sebuah
kesuksesan.
Jihad ilmiah penulis awali
dari mengumpulkan berbagai data yang ada dalam buku-buku sejarah ke-Islam-an,
meskipun dari data tersebut belum sepenuhnya membantu penulis dalam
merekonstruksi jawaban tapi setidaknya dapat menunjukan jalan terang apa yang
akan dilakukan selanjutnya. Adalah buku yang ditulis Mohammad Ali, berjudul “Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia
Tenggara”. Buku ini mengisahkan terjadinya Kesultanan
Demak diawali dari peristiwa Raden Patah yang diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari
Surabaya, agar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindungi oleh tanaman gelagah wangi. Dalam perantauannya
itu, Raden Patah sampailah ke daerah rawa-rawa yang berada di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), yaitu suatu
kawasan rawa-rawa besar yang menutup laut atau lebih tepat sebuah selat yang
memisahkan antara Pulau
Muryo dengan daratan Jawa Tengah, yang kemudian lokasi tersebut oleh Raden Patah
dinamakan sebagai Demak. Keterangan tersebut juga kemudian dikuatkan dari hasil
kajian yang dilakukan Slamet Muljana yang terdokumentasi secara baik dalam buku
berjudul “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit”. Dari buku ini diperoleh
keterangan bahwa Raden Patah adalah seorang putra dari Kerajaan Majapahit,
Prabu Brawijaya V, yang memilih tinggal di daerah kosong dan berawa di sebelah
timur Semarang, tepatnya di kaki Gunung Muria, yang disebut dengan Glagah Wangi
atau kebanyakan orang menyebutnya Demak Bintoro.
Namun
apa yang ada pada dua buku tersebut belumlah menemukan kata sepakat diantara
para pakar sendiri, karena tidak mungkin Raden Patah mendirikan kerajaan berada
pada wilayah rawa-rawa. Sebagaimana pendapat yang dikutip Jaya Suprana dalam
“Ensiklopedi Kelirumologi”. Pada abad XV, yaitu saat Kesultanan Demak ada,
kawasan Demak masih berupa rawa-rawa liar. Sangat tidak mungkin kalau Raden
Patah mendirikan kerajaannya di situ, yang lebih mungkin menurut kelompok ini,
pusat Kesultanan Demak berada di wilayah sekitar Semarang yaitu Alastuwo,
Kecamatan Genuk Semarang. Pendapat ini didasarkan atas banyaknya benda-benda
arkeologi yang diketemukan di daerah tersebut, dan disinyalir benda-benda itu
adalah bekas puing-puing Kesultanan Demak. Fakta ini sedikit membingungkan
penulis juga, apa mungkin Raden Patah mendirikan kerajaan namun jauh dari
peradabannya, sehingga menurut Jaya Suprana sendiri pendapat ini mungkin juga
keliru, atau bahkan mungkin menurutnya pula yang lain juga keliru, sehingga
kedua-duanya dapat dimungkinkan juga keliru.
Perbedaan pendapat yang
disampaikan para pakar tersebut di atas kemudian mendorong penulis untuk mencari
data lain, yaitu dengan mendengarkan secara cermat dan mencatat local hystorie
yang berkembang di masyarakat Demak dan sekitarnya. Banyak memang versinya local
hystorie yang berkembang di masyarakat dan dituturkan secara turun temurun.
Pertama, cerita yang menyatakan bahwa
Kesultanan Demak hilang karena ditutup secara gaib dengan kekuatan supranatural
yang Maha Dahsyat sehingga tidak dapat terlihat secara kasat mata telanjang dan
hanyalah orang-orang tertentu yang diberi kelebihan oleh Allah swt., yang dapat
melihatnya. Cerita mistik ini pernah dibuktikan oleh para supranatural untuk
menguji kebenarannya dengan melakukan ritual-ritual keagamaan, dan menurut
cerita yang berkembang mereka dapat melihat kemunculan Kesultanan Demak di
sekitar selatan alun-alun Masjid Agung Demak meskipun kemunculannya hanya
sebentar. Namun cerita ini ketika penulis telusuri lebih jauh tentang siapa sajakah
spritualis yang dimaksud agar dapat dimintai keterangan lebih lanjut juga tidak
ada yang dapat menyebutkan orangnya.
Kedua, versi yang menceritakan
bahwa bangunan dan segala perabotan Kesultanan Demak dipindah secara gaib oleh Sultan
Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, murid Eyang Sunan Kalijaga, dan yang ditinggal
dan tidak ikut dipindahkan hanyalah Masjid Agung Demak, Saka Delapan Masjid
Agung Demak, serta Kolam Wudlu yang berada di sebelah utara Masjid Agung Demak.
Jika ditelusuri lebih mendalam cerita mistik versi kedua ini cukup beralasan,
siapa yang tidak mengenal cerita tentang sepak terjang murid Eyang Sunan
Kalijaga yang memiliki daya linuwih ini, apalagi upayanya memindahkan
pusat pemerintahan Kesultanan Demak ke Pajang mendapat restu dan dukungan
sepenuhnya dari sang guru yang dikenal memiliki karomah derajat kewalian
sesuatunya menjadi tidak mustahil terjadi. Jika ditelusuri lebih mendalam
cerita versi yang kedua ini hampir mendekati kebenaran karena sebagaimana
cerita yang shahih beredar bahwa setelah kemunduran Kesultanan Demak karena
faktor perseteruan keluarga kesultanan membuat Hadiwijaya perlu mencari daerah
yang aman untuk menjalankan roda pemerintahan, dan Pajang adalah daerah yang tepat
karena sebelum dinobatkan sebagai Sultan Wali beliau adalah penguasa Kadipaten
Pajang. Namun demikian cerita ini juga belum dapat dijadikan sandaran untuk
membuat kata sepakat karena tidak dapat dibuktikan keabsahannya.
Ketiga, hilangnya Kesultanan Demak
beserta perabotannya karena adanya sedimentasi lumpur yang terjadi selama
berabad-abad tahun lamanya sehingga Kesultanan Demak yang sudah tidak terawat
dan tidak mendapat perhatian dari pemerintahan Kesultanan Pajang menjadi
tenggelam ditelan bumi. Cerita ini dikuatkan dengan argumentasi bahwa
Kesultanan Demak yang berdiri di atas rawa-rawa liar di sekitar sungai Tuntang
akan selalu tergenang air dan lumpur, sehingga ketika bagunan sudah tidak
terawat secara terus menerus dan berjalan selama ratusan tahun maka akan
terkubur dalam kubangan lumpur yang dalam. Namun sekali lagi, argumentasi ini
akan mudah dipatahkan kalau kita saksikan masih berdirinya Saka Delapan dan
Masjid Agung Demak secara kokoh dan belum pernah berpindah, serta situs Kolam
Wudlu yang masih dapat disaksikan sampai sekarang ini, oleh karena itu untuk
menguji kebenaran cerita ini maka sangat diperlukan kajian dari ilmu-ilmu lain
dan bukan hanya dari sudut kesejarahan an sich.
Meskipun cerita-cerita di atas
beraroma mistik dan belum teruji fakta kebenarannya, namun berawal dari cerita
yang tidak diketahui asal usul sumbernya ini penulis setidaknya dapat
memperoleh arahan untuk menapak lebih jauh mencari sebuah fakta kebenaran bahwa
Kesultanan Demak ada dan dapat dibuktikan kebenarannya. Jihad ilmiah penulis
dilanjutkan lagi, setelah membaca berbagai literatur dan mendengarkan berbagai local
hystorie, kemudian upaya ini diteruskan kembali dengan membaca novel-novel
sejarah yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Novel sejarah yang dimaksud diantaranya
adalah novel yang ditulis oleh pemuda yang mengaku dirinya memiliki arti nama
yang sama dengan penguasa Kerajaan Majapahit, Raden Paramesywara atau Damar
Wulan, yaitu: Damar Shashangka. Kesamaanya adalah terletak pada Wulan dan
Shasangka. Wulan bersumber dari bahasa Jawi dan Shashangka dalam bahasa Shanskerta
artinya sama, yaitu: rembulan. Lewat
cerita yang ditulis Damar Shashangka dalam empat seri buku, berturut-turut
berjudul: 1) Sabda Palon: Kisah Nusantara yang Disembunyikan, 2) Sabdo
Palon: Roh Nusantara dan Orang-Orang Atas Angin, 3) Sabdo Palon: Geger
Majapahit, serta 4) Sabdo Palon: Pudarnya Surya Majapahit. Meskipun berupa
novel namun setelah membaca berkali-kali cerita-cerita yang dikisahkannya, kebutaan
yang selama ini menghinggapi pengetahuan penulis sedikit dapat tercerahkan, lewat
novel-novel tersebut penulis kemudian dapat mengenal nama-nama tokoh penting
dari Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan negeri seberang, semisal: Champa,
Vijaya, Amaravati, Indrapura maupun Kauthara yang memiliki keterkaitan erat
dengan pendirian Kesultanan Demak.
Cerita lain tentang Kesultanan
Demak juga penulis temukan dari coretan pena Nassirun Purwokartun dalam novel
sejarah yang berjudul: Penangsang: Tarian Rembulan Luka. Novel karya
Nassirun ini juga mampu mengurangi kehausan pengetahuan penulis dalam melihat
sejarah silam Kesultanan Demak yang penuh intrik-intrik politik di akhir
kegemilangannya, tipu daya muslihat sampai tega memfitnah sesama saudara, serta
menghalalkan segala macam cara dalam meraih kekuasaan angkara murka. Lewat cerita
novel Nassirun ini penulis kemudian dapat mengetahui bagaimana awalnya terjadi
proses kepindahan Kesultanan Demak ke Pajang yang dilakukan Hadiwijaya.
Demikianlah awalnya tulisan ini terinspirasikan
dengan harapan semoga coretan ini menjadi sarana komunikasi dalam menemukan
kata sepakat tentang keberadaan Kesultanan Demak. Bagi rekan-rekan semua yang
sekiranya memiliki pengetahuan tentang Kesultanan Demak dapat kiranya berkenan
membantu meluluhkan kristalisasi kegelisahan penulis atas kegundahannya,
sedikit saran dan kritik sangat besar sekali manfaatnya bagi penulis dalam
meneguhkan hati dan keimanannya melihat kegemilangan Kabupaten Demak dulu dan
kini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas
atensinya.
Demak, 23 Ramandhan 1435 H.