Minggu, 11 Januari 2015

UAS MP Kuantitatif II



UJIAN AKHIR SEMESTER


Semester/SKS   : V/2 (Dua)                                           Mata Kuliah      : MP Kuantitatif II        
Hari/Tanggal    : Minggu/ Januari 2015                          Pengampu         : Aris Bimono, M.Pd.I

 
Soal...!
1.      Pilihlah skripsi pada FAI UNWAHAS Semarang Progdi PAI yang memiliki jenis penelitian KUANTITATIF; (disarankan yang lulus pada 2010 ke atas)
2.      Buatlah sinopsis terhadap skripsi yang telah anda peroleh;
3.      Ketentuan penulisan sinopsis adalah sebagai berikut;
Judul Skripsi (Cover)
A.       Latar Belakang Masalah (max. 2 hlm.)
1.      Identifikasi Masalah (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
2.      Rumusan Masalah (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
B.        Pembahasan
1.      Landasan Teori (max. 4 hlm.)
a.       Pembahasan variabel x
b.      Pembahasan variabel y
c.       Pertemuan variabel x dan y
2.      Hipotesis Penelitian (sesuaikan dengan yang ada pada isi skripsi)
3.      Metode Penelitian
a.       Jenis Penelitian
b.      Teknik Pengumpulan Data
c.       Teknik Analisis Data
4.      Analisis Data Variabel x
5.      Analisis Data Variabel y
6.      Uji Hipotesis
C.        Penutup
1.      Kesimpulan
2.      Saran
D.       Daftar Pustaka
E.       Biodata Penulis Skripsi

4.      Aturan penulisan sinopsis adalah sebagai berikut;
A.       Sinopsis ditulis dengan menggunakan format
1.      Time New Roman
2.      Font 12
3.      Ukuran kertas A4 dengan margin atas dan kiri 4 cm, bawah dan kanan 3 cm
B.        Untuk mempermudah koreksi agar sinopsis yang telah anda selesaikan, softcopy harus dikirim kembali lewat E-mail: arisbimono23@yahoo.com Batas akhir pengiriman adalah 1 Februari 2015. Tidak menerima pengiriman berupa hardcopy.
C.        Jika ada kesamaan judul dan penulis skripsi antara 2 atau lebih mahasiswa kesemuannya akan dikembalikan via e-mail, dan diberi waktu 3 hari untuk memperbaiki.

Minggu, 04 Januari 2015

MEMPERTANYAKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA



MEMPERTANYAKAN KEMBALI JATI DIRI BANGSA


Pada dekade dasawarsa silam, Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang luhur. Keluhuran bangsa Indonesia tampak dari kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya. Keluhuran peradaban bangsa ini lebih nampak jelas dari keramahan perilaku hidup masyarakat Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan aktivitas keseharian, gotong-royong, saling tolong-menolong, dan tepo seliro adalah karakter bangsa Indonesia. Luhurnya peradaban bangsa Indonesia yang membanggakan ini sempat memikat mata dunia Internasional datang ke Indonesia untuk sekedar melihat dan belajar sekaligus merasakan lebih dekat kehidupan sosial bangsa ini dengan harapan suatu ketika nanti dapat diterapkan pada negaranya.
 Apresiasi dunia Internasional terhadap Indonesia tidaklah berlebihan mengingat Indonesia dengan ratusan juta penduduk serta terkelompok dalam berbagai suku bangsa, adat istiadat, ras dan agama serta tersebar dalam banyak wilayah kepulauan namun stabilitas politik, pertahanan dan keamanan masih tetap terjaga dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga Indonesia pernah menjadi salah satu barometer bagi negara-negara berkembang dalam menjaga kerukunan umat beragama. Namun demikian sekarang ini karena desakan arus globalisasi dan neo liberalisme yang dibarengi pula dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa kalangan mengkawatirkan sekaligus mempertanyakan eksistensi bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang memiliki kepribadian luhur. Seperti, Soemarno Soemarsono yang melihat kondisi bangsa ini ibarat “gunung es” kelihatan gagah perkasa, tapi jiwa atau fondasinya rapuh.
Kegelisahan tersebut sangatlah beralasan mengingat Indonesia yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang sangat arif bijaksana, ramah dan berbudi pekerti luhur kini telah berubah menjadi bangsa yang tidak beradab, beringas dan asusila. Bagaimana tidak, konflik antar kelompok telah menghiasi kehidupan keseharian bangsa ini, kekejaman dan kekerasan bahkan pembunuhan dan pemerkosaan telah secara terang-terangan dilakukan dengan sengaja di muka umum tanpa perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga kepribadian bangsa dengan peradabannya semakin dipertanyakan eksistensinya. Korupsi, kolusi dan nepotisme telah menjadi hiasan berita keseharian bangsa ini membudaya dalam berbagai sisi sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Negara gagal adalah predikat yang tepat bagi bangsa Indonesia saat ini. Terlepas dari pengaruh budaya asing dengan berbagai tawarannya, bangsa Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa yang beradab, bermoral, dan berkedaulatan, serta bangsa yang senantiasa mendasarkan tingkah lakunya pada nilai-nilai luhur budaya dan agama. Indonesia telah gagal membangun dan mempertahankan peradaban agungnya. Kegagalan bangsa Indonesia ini sekaligus membenarkan apa yang telah diprediksi Francis Fukuyama sebelumnya, sebagaimana dikutip St. Sularto, disebabkan karena permasalahan kemiskinan, pengangguran, konflik antar kelompok, serta merebaknya aksi teror. Prediksi Fukuyama terhadap Indonesia ini sangat tepat. Kesenjangan sosial bangsa Indonesia yang terjadi sejak zaman orde baru sampai zaman reformasi telah diprediksi oleh Fukuyama bahwa Indonesia nantinya akan menjadi negara gagal dalam meningkatkan taraf hidup, pendidikan dan kesehatan warga negaranya, walaupun sebenarnya Indonesia sendiri memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah namun karena tidak adanya pemerataan yang berkeadilan menyebabkan Indonesia nantinya akan menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar sekaligus tertinggi tingkat kemiskinannya di kawasan Asia Tenggara.
Begitu juga, rendahnya rasio perbandingan penyediaan lapangan kerja dalam negeri dengan ledakan tenaga kerja produktif telah berdampak pada pengiriman tenaga-tenaga kerja kurang profesional ke luar negeri, akibatnya tenaga kerja Indonesia di luar negeri seringkali mendapat perlakuan kasar, pelecehan seksual, dan penistaan hak-hak azasi kemanusiaanya.
Bahkan kalau mau melihat lebih jauh dari itu, kegagalan bangsa Indonesia lebih disebabkan karena kebobrokan moral para penguasa lembaga tinggi dan tertinggi bangsa ini. Lembaga eksekutif yang seharusnya melaksanakan amanat undang-undang demi menjaga kedaulatan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa namun telah lalai menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai abdi rakyat yang senantiasa mengayomi dan melindungi kedaulatan rakyat dari segala ancaman ekspansi bangsa lain. Begitu juga dengan lembaga legislatif yang seharusnya berposisi sebagai wakil rakyat dalam memproduksi undang-undang juga telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penjaga azas-azas demokrasi. Demikian juga dengan apa yang telah ditampilkan oleh personal yudikatif sebagai pihak yang seharusnya menjaga supremasi hukum namun telah menelanjangi kedaulatan hukum dengan senantiasa memperdagangkan ayat undang-undang demi kekayaan pribadi dan kepentingan segelintir orang. Inilah gambaran bangsa Indonesia saat sekarang ini, Indonesia telah kehilangan jatidirinya sebagai bangsa dan negara yang beradab dan berkedaulatan.
Kehilangan jatidiri adalah suatu hal yang sangat memalukan bagi bangsa Indonesia, mengapa tidak, karena dengan kehilangan jatidiri sejatinya bangsa Indonesia kehilangan peradabannya yang telah lama diwariskan oleh pendiri bangsa (fouding father) sejak zaman dahulu sampai negara ini diakui kedaulatanya. Apalagi yang ingin dibanggakan bagi Indonesia jika telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Tidak ada lagi yang dapat dibanggakan, mengingat dari sendi-sendi kehidupan yang lain, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta pangan Indonesia masih sangat bergantung pada belas kasihan negara-negara lain. Oleh karena itu pada masa rezim orde baru, Soeharto, sangat represif terhadap upaya-upaya yang ingin mengganggu dan merusak stabilitas negara persatuan dan kesatuan. Bukan bermaksud ingin membenarkan tindakan-tindakan represif rezim orde baru dengan segala kebijakan politik strategisnya, namun jika untuk kebaikan menjaga martabat bangsa mengapa tidak. Luwih Enak Jamanku To itulah sindirian yang sangat menyakitkan bagi penggagas orde reformasi.
Kebijakan politik strategis, sebagaimana yang telah diterapkan pada rezim orde baru dinilai sangat ampuh bagi sebagian kalangan dalam menjaga keutuhan bangsa, mengingat dengan kebijakan ini benih-benih konflik kebangsaan yang akan terjadi dapat diredam sedemikian rupa sehingga tidak mengancam dan membahayakan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa. Namun oleh sebagian kalangan yang lain kebijakan politik strategis rezim orde baru ini dinilai sebagai bentuk tindakan melanggar HAM karena telah menebarkan rasa takut dan kegelisahan yang sangat bagi penegak faham demokrasi berkebangsaan. Ketakutan ini mendasar, mengingat karena selama rezim orde baru pendekatan yang digunakan dalam menopang kebijakan politik strategis adalah militerisasi, sehingga kesan yang muncul dari kebijakan ini adalah tindakan kekerasan.
Terlepas dari intrik-intrik politik yang digunakan oleh rezim orde baru dalam melanggengkan status quo-nya, Soeharto telah berhasil membuat bangsa Indonesia disegani di mata dunia sebagai bangsa yang besar, berdaulat dan bermartabat, serta sejajar dengan bangsa-bangsa lain sehingga patut diperhitungkan dalam percaturan politik internasional. Sekarang yang perlu direnungkan adalah bagaimana menerapkan kebijakan politik strategis yang pernah teruji keberhasilannya pada masa orde baru dalam mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia di mata dunia, namun sekali lagi, tidak melanggar HAM?.

Selasa, 02 September 2014

JIHAD ILMIAH MENAPAK KESUKSESAN



Kesultanan Demak atau banyak orang menyebutnya sebagai kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa adalah sebuah kerajaan “khayalan” yang tidak akan pernah dapat diketemukan dimana letak bahkan bukti keberadaannya”

Dimana letak keberadaan Kesultanan Demak memang tidak akan habis-habisnya untuk diperbincangan sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, tidak hanya dari kalangan ilmuwan, mahasiswa, bahkan rakyat pinggiran-pun juga ikut memeriahkannya namun pada akhirnya perdebatan panjanglah yang dihasilkan. Semua punya bukti, semua punya cerita, dan semua punya alasan-alasan untuk mempertahankan kebenaran pendapatnya. Sebagian beranggapan pusat kekuasaan Kesultanan Demak berada di sekitar alun-alun Kota Demak namun sebagian yang lain bersikukuh berada di luar Kota Demak, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi berpendapat bahwa Kesultanan Demak tidak berada di Demak namun berada di luar daerah Demak. Sungguh menjadi sebuah misteri, Kesultanan Islam Pertama di Pulau Jawa yang menjadi salah satu kebanggaan wong Demak tidak dapat diketemukan. Sungguh mengherankan juga, jikalau Kesultanan yang dahulu pernah menjadi pusat kekuatan Islam terbesar di Nusantara pada abad XV, bahkan konon cerita pengaruhnya melebihi kekuasaan Kerajaan Majapahit maupun Sriwijaya pada zamannya, tidak dapat ditunjukan dimana letak keberadaanya.
Keheranan inilah yang kemudian menjadikan batin penulis terus bertanya-tanya, mungkinkah Kesultanan yang telah lama tersohor kemasyhurannya tidak dapat ditunjukan dimana letak keberadaannya. Keheranan penulis memang cukup beralasan, saat ketika penulis mencoba membolak-balik kepustakaan yang dimilikinya dengan harapan akan mendapatkan jawaban yang diharapkan, namun ternyata mencari letak keberadaan Kesultanan Demak tidaklah semudah membalikan telapak tangan, karena tidak ada satupun dari sekian buku yang penulis baca ada yang dapat menunjukannya. Begitu juga ketika penulis mencoba melakukan browsing di situs-situs internet malahan kekecewaan yang didapatkanya karena tidak ada satupun tulisan yang dapat mengabarkannya. Puncaknya ketika penulis mencoba menelusuri cerita demi cerita yang berkembang di masyarakat (local hystorie), dengan bertanya kepada para sesepuh di sekitar kota Demak dengan harapan lebih mudah untuk menemukannya, malahan kebingungan yang penulis rasakan karena kesimpangsiuran cerita-cerita yang diberikan. Bagaikan mencari jarum yang jatuh dalam jerami, begitulah ungkapan yang tepat untuk mengkiaskan usaha penulis dalam mencari letak keberadaan Kesultanan Demak.
Sulit memang rasanya, tetapi hasrat yang terpendam dan terus bertanya-tanya tidak dapat begitu saja dipadamkan. Mustahil ada asap tanpa ada api, tidak mungkin ada cerita tanpa ada peristiwa yang melatarbelakanginya. Walaupun penulis juga menyadari akan mustahil pula menemukan sesuatu yang telah lama terkubur oleh intrik-intrik politik dan keserakahan duniawi demi kepentingan perut semata, namun demi hasrat penulis untuk menyibak tabir misteri keberadaan Kesultanan Demak yang telah mengkristal maka selagi masih ada kemauan penulis yakin kemustahilan akan berubah menjadi sebuah kenyataan, kuncinya adalah bekerja secara cermat, teliti, sabar dan bertawakal kepada Allah swt. Semangat demikianlah kemudian yang terus memotivasi penulis untuk melakukan jihad ilmiah dalam meraih sebuah kesuksesan.
Jihad ilmiah penulis awali dari mengumpulkan berbagai data yang ada dalam buku-buku sejarah ke-Islam-an, meskipun dari data tersebut belum sepenuhnya membantu penulis dalam merekonstruksi jawaban tapi setidaknya dapat menunjukan jalan terang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Adalah buku yang ditulis Mohammad Ali, berjudul “Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara”. Buku ini mengisahkan terjadinya Kesultanan Demak diawali dari peristiwa Raden Patah yang diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, agar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindungi oleh tanaman gelagah wangi. Dalam perantauannya itu, Raden Patah sampailah ke daerah rawa-rawa yang berada di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), yaitu suatu kawasan rawa-rawa besar yang menutup laut atau lebih tepat sebuah selat yang memisahkan antara Pulau Muryo dengan daratan Jawa Tengah, yang kemudian lokasi tersebut oleh Raden Patah dinamakan sebagai Demak. Keterangan tersebut juga kemudian dikuatkan dari hasil kajian yang dilakukan Slamet Muljana yang terdokumentasi secara baik dalam buku berjudul “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit”. Dari buku ini diperoleh keterangan bahwa Raden Patah adalah seorang putra dari Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V, yang memilih tinggal di daerah kosong dan berawa di sebelah timur Semarang, tepatnya di kaki Gunung Muria, yang disebut dengan Glagah Wangi atau kebanyakan orang menyebutnya Demak Bintoro.
Namun apa yang ada pada dua buku tersebut belumlah menemukan kata sepakat diantara para pakar sendiri, karena tidak mungkin Raden Patah mendirikan kerajaan berada pada wilayah rawa-rawa. Sebagaimana pendapat yang dikutip Jaya Suprana dalam “Ensiklopedi Kelirumologi”. Pada abad XV, yaitu saat Kesultanan Demak ada, kawasan Demak masih berupa rawa-rawa liar. Sangat tidak mungkin kalau Raden Patah mendirikan kerajaannya di situ, yang lebih mungkin menurut kelompok ini, pusat Kesultanan Demak berada di wilayah sekitar Semarang yaitu Alastuwo, Kecamatan Genuk Semarang. Pendapat ini didasarkan atas banyaknya benda-benda arkeologi yang diketemukan di daerah tersebut, dan disinyalir benda-benda itu adalah bekas puing-puing Kesultanan Demak. Fakta ini sedikit membingungkan penulis juga, apa mungkin Raden Patah mendirikan kerajaan namun jauh dari peradabannya, sehingga menurut Jaya Suprana sendiri pendapat ini mungkin juga keliru, atau bahkan mungkin menurutnya pula yang lain juga keliru, sehingga kedua-duanya dapat dimungkinkan juga keliru.
Perbedaan pendapat yang disampaikan para pakar tersebut di atas kemudian mendorong penulis untuk mencari data lain, yaitu dengan mendengarkan secara cermat dan mencatat local hystorie yang berkembang di masyarakat Demak dan sekitarnya. Banyak memang versinya local hystorie yang berkembang di masyarakat dan dituturkan secara turun temurun.
Pertama, cerita yang menyatakan bahwa Kesultanan Demak hilang karena ditutup secara gaib dengan kekuatan supranatural yang Maha Dahsyat sehingga tidak dapat terlihat secara kasat mata telanjang dan hanyalah orang-orang tertentu yang diberi kelebihan oleh Allah swt., yang dapat melihatnya. Cerita mistik ini pernah dibuktikan oleh para supranatural untuk menguji kebenarannya dengan melakukan ritual-ritual keagamaan, dan menurut cerita yang berkembang mereka dapat melihat kemunculan Kesultanan Demak di sekitar selatan alun-alun Masjid Agung Demak meskipun kemunculannya hanya sebentar. Namun cerita ini ketika penulis telusuri lebih jauh tentang siapa sajakah spritualis yang dimaksud agar dapat dimintai keterangan lebih lanjut juga tidak ada yang dapat menyebutkan orangnya.
Kedua, versi yang menceritakan bahwa bangunan dan segala perabotan Kesultanan Demak dipindah secara gaib oleh Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, murid Eyang Sunan Kalijaga, dan yang ditinggal dan tidak ikut dipindahkan hanyalah Masjid Agung Demak, Saka Delapan Masjid Agung Demak, serta Kolam Wudlu yang berada di sebelah utara Masjid Agung Demak. Jika ditelusuri lebih mendalam cerita mistik versi kedua ini cukup beralasan, siapa yang tidak mengenal cerita tentang sepak terjang murid Eyang Sunan Kalijaga yang memiliki daya linuwih ini, apalagi upayanya memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Demak ke Pajang mendapat restu dan dukungan sepenuhnya dari sang guru yang dikenal memiliki karomah derajat kewalian sesuatunya menjadi tidak mustahil terjadi. Jika ditelusuri lebih mendalam cerita versi yang kedua ini hampir mendekati kebenaran karena sebagaimana cerita yang shahih beredar bahwa setelah kemunduran Kesultanan Demak karena faktor perseteruan keluarga kesultanan membuat Hadiwijaya perlu mencari daerah yang aman untuk menjalankan roda pemerintahan, dan Pajang adalah daerah yang tepat karena sebelum dinobatkan sebagai Sultan Wali beliau adalah penguasa Kadipaten Pajang. Namun demikian cerita ini juga belum dapat dijadikan sandaran untuk membuat kata sepakat karena tidak dapat dibuktikan keabsahannya.
Ketiga, hilangnya Kesultanan Demak beserta perabotannya karena adanya sedimentasi lumpur yang terjadi selama berabad-abad tahun lamanya sehingga Kesultanan Demak yang sudah tidak terawat dan tidak mendapat perhatian dari pemerintahan Kesultanan Pajang menjadi tenggelam ditelan bumi. Cerita ini dikuatkan dengan argumentasi bahwa Kesultanan Demak yang berdiri di atas rawa-rawa liar di sekitar sungai Tuntang akan selalu tergenang air dan lumpur, sehingga ketika bagunan sudah tidak terawat secara terus menerus dan berjalan selama ratusan tahun maka akan terkubur dalam kubangan lumpur yang dalam. Namun sekali lagi, argumentasi ini akan mudah dipatahkan kalau kita saksikan masih berdirinya Saka Delapan dan Masjid Agung Demak secara kokoh dan belum pernah berpindah, serta situs Kolam Wudlu yang masih dapat disaksikan sampai sekarang ini, oleh karena itu untuk menguji kebenaran cerita ini maka sangat diperlukan kajian dari ilmu-ilmu lain dan bukan hanya dari sudut kesejarahan an sich.
Meskipun cerita-cerita di atas beraroma mistik dan belum teruji fakta kebenarannya, namun berawal dari cerita yang tidak diketahui asal usul sumbernya ini penulis setidaknya dapat memperoleh arahan untuk menapak lebih jauh mencari sebuah fakta kebenaran bahwa Kesultanan Demak ada dan dapat dibuktikan kebenarannya. Jihad ilmiah penulis dilanjutkan lagi, setelah membaca berbagai literatur dan mendengarkan berbagai local hystorie, kemudian upaya ini diteruskan kembali dengan membaca novel-novel sejarah yang memiliki keterkaitan dengan keberadaan Kesultanan Demak.
Novel sejarah yang dimaksud diantaranya adalah novel yang ditulis oleh pemuda yang mengaku dirinya memiliki arti nama yang sama dengan penguasa Kerajaan Majapahit, Raden Paramesywara atau Damar Wulan, yaitu: Damar Shashangka. Kesamaanya adalah terletak pada Wulan dan Shasangka. Wulan bersumber dari bahasa Jawi dan Shashangka dalam bahasa Shanskerta  artinya sama, yaitu: rembulan. Lewat cerita yang ditulis Damar Shashangka dalam empat seri buku, berturut-turut berjudul: 1) Sabda Palon: Kisah Nusantara yang Disembunyikan, 2) Sabdo Palon: Roh Nusantara dan Orang-Orang Atas Angin, 3) Sabdo Palon: Geger Majapahit, serta 4) Sabdo Palon: Pudarnya Surya Majapahit. Meskipun berupa novel namun setelah membaca berkali-kali cerita-cerita yang dikisahkannya, kebutaan yang selama ini menghinggapi pengetahuan penulis sedikit dapat tercerahkan, lewat novel-novel tersebut penulis kemudian dapat mengenal nama-nama tokoh penting dari Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan negeri seberang, semisal: Champa, Vijaya, Amaravati, Indrapura maupun Kauthara yang memiliki keterkaitan erat dengan pendirian Kesultanan Demak.
Cerita lain tentang Kesultanan Demak juga penulis temukan dari coretan pena Nassirun Purwokartun dalam novel sejarah yang berjudul: Penangsang: Tarian Rembulan Luka. Novel karya Nassirun ini juga mampu mengurangi kehausan pengetahuan penulis dalam melihat sejarah silam Kesultanan Demak yang penuh intrik-intrik politik di akhir kegemilangannya, tipu daya muslihat sampai tega memfitnah sesama saudara, serta menghalalkan segala macam cara dalam meraih kekuasaan angkara murka. Lewat cerita novel Nassirun ini penulis kemudian dapat mengetahui bagaimana awalnya terjadi proses kepindahan Kesultanan Demak ke Pajang yang dilakukan Hadiwijaya.
 Demikianlah awalnya tulisan ini terinspirasikan dengan harapan semoga coretan ini menjadi sarana komunikasi dalam menemukan kata sepakat tentang keberadaan Kesultanan Demak. Bagi rekan-rekan semua yang sekiranya memiliki pengetahuan tentang Kesultanan Demak dapat kiranya berkenan membantu meluluhkan kristalisasi kegelisahan penulis atas kegundahannya, sedikit saran dan kritik sangat besar sekali manfaatnya bagi penulis dalam meneguhkan hati dan keimanannya melihat kegemilangan Kabupaten Demak dulu dan kini. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas atensinya.
                                                                                            Demak, 23 Ramandhan 1435 H.